MASALAH-MASALAH ANAK PADA USIA REMAJA DAN CARA-CARA MENGATASINYA
Oleh: Mujtahidin, S.Pd.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masa remaja adalah masa yang paling unik. Perkembangan pada masa remaja umumnya berlangsung antara umur 12 dan 21 tahun, dengan pembagian: (1) usia 12-15 tahun; masa remaja awal (peural), (2) usia 15-18 tahun: masa remaja pertengahan (pubertas), dan (3) usia 18-21 tahun masa remaja akhir (adoleson) (Monk, 2006: 262). Menurut Willis (2008, 20-21) pada masa ini telah terjadinya kematangan organ seksual yang ditandai dengan matangan kelenjar endrogin yang mengeluarkan zat-zat yang disebut hormon yang dapat memacu adanya ransangan-ransangan tertentu (ciri-ciri primer). Selain itu, pada masa ini telah terjadi perubahan pisik seperti bentuk tubuh, baik pada laki-laki maupun perempuan (ciri-ciri sekunder), serta perubahan tingkah laku sebagai akibat dari perubahan bentuk pisik maupun kematangan organ-organ seksualnya (ciri-ciri tersier).
Dalam psikologi perkembangan keperibadian seseorang, remaja mempunyai arti yang khusus, namun begitu masa remaja mempunyai tempat yang tidak jelas dalam rangkaian proses perkembangan seseorang. Anak remaja tidak termasuk golongan anak, tetapi tidak pula termasuk golongan dewasa atau golongan tua. Remaja ada diantara dan orang dewasa (Monks, 2006: 258-259). Masa ini kemudian menjadi suatu tahapan kehidupan yang bersifat peralihan dan tidak mantap, sehingga rawan dengan pengaruh-pengaruh negatif seperti narkoba, kriminal, maupun kejahatan seks dan lain sebagainya. Namun di sisi lain, masa remaja adalah masa yang sangat baik untuk mengembangkan segala potensi positif yang mereka miliki seperti bakat, minat, maupun kemampuan-kemampuan lainnya, serta mengembangkan nilai-nilai hidup yang diyakininya.
Pertarungan antara kemungkinan masa remaja terjebak dalam pengeruh-pengaruh negatif dengan kemungkinan dapat dikembangkannya petensi-potensi positif ini menjadi suatu hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Hal ini karena dapat menyelamatkan generasi dari kehinaan dan kemerosotan akhlak (degradasi moral) menuju rekonstruksi moral dan budaya bangsa.
Masalah-masalah pada anak usia remaja seringkali terjadi sebagai akibat dari konflik antara anak (remaja) dengan orang tuanya maupun dengan lingkungan sosialnya. Dalam hal ini, peran orang tua dan sekolah sangat penting bagi pembentukan karakter dan mental positif para remaja. Hal ini disebabkan pada masa remaja anak belum siap untuk terjun ke masyarakat sebagai orang yang dikatakan sudah dewasa (mandiri) sehingga sangat membutuhkan bimbingan baik oleh orang tua maupun sekolah (pendidik/guru). Guna mencapai hal tersebut, maka salah satu alternatif yang dapat dilakukan sejak dini oleh orang tua maupun pendidik (guru) adalah mengetahui masalah-masalah apa saja yang terjadi pada anak usia remaja serta memahami bagaimanakah cara-cara yang dapat dilakukan sebagai upaya untuk mengatasi masalah-masalah tersebut.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah:
1. Masalah-masalah apa saja yang terjadi pada anak usia remaja?
2. Bagaimanakah cara-cara mengatasi masalah-masalah yang terjadi pada anak usia remaja?
C. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penulisan makalah ini adalah:
a. untuk mengetahui masalah-masalah apa saja yang terjadi pada anak usia remaja
b. untuk mengatahui bagaimanakah cara mengatasi masalah-masalah yang terjadi pada anak usia remaja
2. Manfaat
Hasil penulisan makalah ini diharapkan nantinya dapat bermanfaat untuk:
a. Orang tua, yakni diharapkan mampu menciptakan suasana kehidupan yang harmonis di dalam keluarga, bersikap demokratis terhadap anak, mengarahkan serta membekali dengan landasan moral dan spritual yang kokoh untuk mengembangkan semua potensi yang dimilikinya
b. Pendidik (guru), yakni diharapkan mampu menciptakan pembelajaran serta mengambangkan pendidikan yang kondusif dan positif, dimana semua potensi peserta didik dapat dikembangkan dengan maksimal
c. Masyarakat dan Pemerintah, yakni diharapkan dapat lebih memperhatikan pembinaan dan pengembangan moral generasi muda menuju manusia Indonesia seutuhnya, baik melalui lembaga pendidikan formal, pendidikan non formal, maupun pendidikan informal.
BAB II
PEMBAHASAN
C. Masalah-masalah Yang Terjadi Pada Anak Usia Remaja
1. Masalah penyesuaian diri
Permasalahan remaja yang banyak kita lihat sesungguhnya berangkat dari masalah sulitnya penyesuaian diri anak pada usia remaja. Pada usia remaja seorang anak tidak mau lagi dianggap sebagai anak-anak, namun ia juga belum siap untuk dianggap (melaksanakan perannya) sebagai orang dewasa. Penyusuaian diri artinya kemampuan seseorang untuk hidup dan bergaul secara wajar terhadap lingkungannya, sehingga ia merasa puas terhadap dirinya dan lingkungan (Willis, 2008: 55). Kegagalan dalam penyesuaian diri pada remaja dapat disebabkan faktor-faktor pengalaman terdahulu yang mengalami banyak rintangan dan kegagalan. Faktor-faktor tersebut dipengaruhi oleh lingkungan yang ada di sekitarnya, baik di dalam keluarga, sekolah, maupun di dalam masyarakat.
a. Penyesuaian diri di dalam keluarga
Penyesuaian diri di dalam keluarga yang terpenting adalah penyesuaian diri dengan sikap orang tua. Dalam kaitannya dengan hal ini, Willis (2008: 56) menyebutkan bahwa ada 3 (tiga) macam tipe/gaya (sikap) orang tua dalam mendidik anak-anaknya yaitu: (1) orang tua yang otoriter (berkuasa), (2) orang tua yang lunak, (3) orang tua yang demokratis.
Orang tua yang otoriter cendrung merasa berkuasa di rumah, sehingga segala tindakan terlihat keras, kata-katanya terhadap anak tajam dan menyakitkan hati, banyak memerintah, kurang mendengarkan keluhan dan usulan anak-anaknya. Hal ini kemudian yang melahirkan sikap anak terutama remaja yang dapat memicu terjadinya kenakalan remaja, seperti sikap menetang dan lain-lainnya. Selain itu, rasa takut yang disebabkan oleh sikap orang tua yang otoriter ini membuat anak tidak berkembang daya kreatifnya, menjadi orang yang penakut, apatis, dan penggugup.
Demikian pula sebaliknya, sikap orang tua yang terlalu lunak memberikan kebebasan terhadap anak tanpa adanya norma-norma yang harus ditakuti oleh mereka dapat menimbulkan perilaku tidak senonoh pada anak-anaknya, misalnya agresif, suka menipiu, berbohong, dan lain sebagainya. Sedangkan sikap orang tua yang demokratis memberikan kesempatan kepada setiap anak-anaknya untuk menyatakan pendapat, keluhan maupun kegelisahannya. Sikap orang tua seperti inilah yang dapat mendidik anak untuk bersikap mandiri, memiliki sikap tegas, mudah bergaul dan berorientasi pada prestasi.
b. Penyesuian diri di Sekolah
Penyesuaian diri remaja di sekolah erat kaitannya dengan penyesuian diri dengan guru, teman maupun lingkungan sekolah. Kegagalan remaja dalam menyesuaikan diri di sekolah sering berujung pada berbagai bentuk, antara lain sebagai berikut :
1) Perilaku Bermasalah (problem behavior).
Perilaku bermasalah di sekolah dapat berupa perilaku malu yang berlebihan, ingin menjadi lebih hebat dari teman-temannya, dan lain sebagainya. Perilaku ini seperti hipoaktivisme, anorexia nervosa, maupun bulimia. Demikian pula, rasa malu dalam mengikuti berbagai aktvitas yang digelar sekolah misalnya, termasuk dalam kategori perilaku bermasalah yang menyebabkan seorang remaja mengalami kekurangan pengalaman. Dampak perilaku bermasalah yang dilakukan remaja akan menghambat dirinya dalam proses sosialisasinya dengan remaja lain, dengan guru, dan dengan masyarakat.
2) Perilaku menyimpang (behaviour disorder)
Perilaku menyimpang pada remaja merupakan perilaku yang kacau yang menyebabkan seorang remaja kelihatan gugup dan perilakunya tidak terkontrol. Seorang remaja mengalami hal ini jika ia tidak tenang dan menyebabkan hilangnya konsentrasi diri. Perilaku menyimpang pada remaja akan mengakibatkan munculnya tindakan tidak terkontrol yang mengarah pada tindakan kejahatan. Penyebab behaviour disorder lebih banyak karena persoalan psikologis yang selalu menghantui dirinya.
3) Penyesuaian diri yang salah (behaviour maladjustment)
Perilaku yang tidak sesuai yang dilakukan remaja biasanya didorong oleh keinginan mencari jalan pintas dalam menyelesaikan sesuatu tanpa mendefinisikan secara cermat akibatnya. Perilaku menyontek, bolos, dan melangar peraturan sekolah merupakan contoh penyesuaian diri yang salah pada remaja di sekolah.
4) Perilaku tidak dapat membedakan benar-salah (conduct disorder)
Kecenderungan pada sebagian remaja adalah tidak mampu membedakan antara perilaku benar dan salah. Wujud dari conduct disorder adalah munculnya cara pikir dan perilaku yang kacau dan sering menyimpang dari aturan yang berlaku di sekolah. Penyebabnya, karena sejak kecil orangtua tidak bisa membedakan perilaku yang benar dan salah pada anak. Seorang remaja di sekolah dikategorikan dalam conduct disorder apabila ia memunculkan perilaku anti-sosial seperti melawan aturan, tidak sopan terhadap guru, dan mempermainkan temannya .
c. Penyesuaian diri di masyarakat
Penyesuaian diri di dalam masyarakat berkaitan dengan hubungan anak dengan lingkungan sosialnya, karena sebagian besar waktu anak dihabiskan dilingkungan masyarakat. Kesulitan penyesuaian diri ini misalnya dipengaruhi oleh film-film, acara TV, majalah, pergaulan, kekerasan dan lain-lainnya. Jika penyesuaian diri di dalam masyarakat ini cendrung mengarah ke hal-hal yang negatif, maka masalah yang dihadapi remaja akan menjadi sangat kompleks, karena pada masa ini remaja berada pada masa trasisi yang sulit sehingga jika tidak diarahkan maka dapat terjerumus pada degradasi moral.
2. Masalah seksual pada remaja
Pada masa remaja masalah seksual merupakan masalah yang sering terjadi mulai dari hubungan dengan lawan jenis (pacaran) sampai pada tindakan amoral seperti pemerkosaan maupun perzinahan. Masalah seksual ini terjadi karena pada masa remaja seseorang telah menunjukkan kematangan hormon seksual, yang ditandai dengan datangnya masa pubertas. Kematangan hormon ini mendorong anak remaja pada umumnya untuk memenuhi hasrat seksualnya, sehingga jika tidak ada penyaluran yang sesuai (menikah) maka harus dilakukan usaha untuk memberi pengertian dan pengetahuan mengenai hal tersebut.
Menurut Sarwono (2004: 153) faktor-faktor yang berperan dalam munculnya permasalahan seksual pada remaja adalah sebagai berikut:
a Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual remaja. Peningkatan hormon ini menyebabkan remaja membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku tertentu
b Penyaluran tersebut tidak dapat segera dilakukan karena adanya penundaan usia perkawinan, baik secara hukum oleh karena adanya undang-undang tentang perkawinan, maupun karena norma sosial yang semakin lama semakin menuntut persyaratan yang terus meningkat untuk perkawinan (pendidikan, pekerjaan, persiapan mental dan lain-lain)
c Norma-norma agama yang berlaku, dimana seseorang dilarang untuk melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Untuk remaja yang tidak dapat menahan diri memiliki kecenderungan untuk melanggar hal-hal tersebut
d Kecenderungan pelanggaran makin meningkat karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan melalui media masa yang dengan teknologi yang canggih (cth: VCD, buku stensilan, photo, majalah, internet, dan lain-lain) menjadi tidak terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa dilihat atau didengar dari media massa, karena pada umumnya mereka belum pernah mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orangtuanya.
e Orangtua sendiri, baik karena ketidaktahuannya maupun karena sikapnya yang masih mentabukan pembicaraan mengenai seks dengan anak, menjadikan mereka tidak terbuka pada anak, bahkan cenderung membuat jarak dengan anak dalam masalah seksual.
3. Masalah psikopatologi (gangguan kejiwaan/ kelainan)
Psikopatologi artinya beberapa gangguan kejiwaan pada remaja (psiko = jiwa, patologi = kelainan, gangguan). Jenis-jenis gangguan kejiwaan yang sering terjadi pada remaja menurut Jensen (dalam Sarwono, 2007: 222) antara lain adalah:
a. Mental stres yang dapat menimbulkan hiperaktivitas dan depresi
Hiperaktivitas adalah aktivitas yang terlalu berlebihan, kebalikannya adalah hivoaktivitas (aktivitas yang kurang). Jika gangguan yang berlangsung terus menerus (efektif), maka hiperaktivitas maupun hipoaktivitas dapat menyebabkan depresi yang lebih berat dari sebelumnya.
b. Neurosis
Neorosis adalah perilaku yang berlebihan, yang disebabkan adanya gejolak dan konflik yang terdapat pada diri sendiri. Beberapa gejala neorosis yang bisa terjadi pada diri remaja antara lain : (1) phobia yakni ketakutan yang luar biasa tanpa alasan yang jelas kepada hal-hal yang lazimnya tidak menimbulkan ketakutan, dan (2) Obsesi-kompulasi yakni adanya pikiran/ perasaan/ keyakinan yang sangat kuat tentang suatu hal yang diikuti dengan kecenderungan untuk terus-menerus melakukan hal tersebut, walaupun dirinya sendiri menyadari bahwa hal tersebut tidak masuk akal.
c. Reaksi Konversi
Reaksi konversi adalah kecemasan yang dialihkan kepada tubuh, misalnya berkeringat dingin atau sakit perut pada saat menghadapi ujian. Jika gangguan ini serius, maka gejala-gejala tersebut bahkan bisa menetap dan selalu dialami jika anak sedang merasakan kecemasan.
d. Skizofrenia
Skizofrenia adalah gangguan kejiwaan yang berupa kemunduran atau terpecah. Dalam hal ini ditandai dengan cara berfikir yang tidak teratur, berhalusinasi, tidak mampu mengendalikan gagasan, maupun tidak mampu melakukan hubungan sosial karena tingkah lakunya sudah tidak sesuai dengan kenyataan.
e. Anorexia Nervosa
Anoreksia adalah aktivitas untuk menguruskan badan dengan melakukan pembatasan makan secara sengaja dan melalui kontrol yang ketat. Gangguan jiwa ini adalah khas remaja di bawah usia 25 tahun dan biasanya terjadi ada remaja putri. Penderita anorexia sadar bahwa mereka merasa lapar namun takut untuk memenuhi kebutuhan makan mereka karena bisa berakibat naiknya berat badan. Persepsi mereka terhadap rasa kenyang terganggu sehingga pada saat mereka mengkonsumsi sejumlah makanan dalam porsi kecil sekalipun, mereka akan segera merasa kenyang atau bahkan mual.
f. Bulimia
Pada dasarnya, tujuan akhir dari gejala bulimia dan anorexia adalah sama, yaitu ingin mempertahankan bentuk tubuhnya selangsing (sekurus) mungkin, namun cara mereka yang berbeda. Penderita bulimia cenderung senang mengkonsumsi makanan yang mereka sukai. Mereka makan berlebihan untuk memuasakan keinginan mereka namun selanjutnya mereka memuntahkannya kembali hingga tidak ada makanan yang tersisa. Dengan demikian mereka terhindar jadi gemuk melainkan tetap menjadi kurus tanpa perlu menahan keinginan mereka untuk makan.
g. Bunuh Diri
Bunuh diri juga merupakan masalah yang sering terjadi pada remaja. Ketika mereka siudah mengalami jalan buntu dalam masalah yang dihadapinya, dan satu-satunya jalan adalah bunuh diri. Gejala ini dapat disebabkan oleh hubungannya dengan lawan jenis, orang tua, sekolah, maupun karena yang diinginkannya tidak bisa tercapai, serta perasaan malu atau tertekan (depresi) yang dialaminya.
4. Perilaku menyimpang pada remaja
a. Kenakalan remaja
Kenakalan remaja artinya perilaku remaja yang menyimpang dari hukum atau melanggar hukum (Sarwono, 2007: 209). Sedangkan dalam Inpres N0.6/1971 tentang Pola Penanggulangan Kenakalan Remaja (dikutip dalam Willis, 2008: 89), disebutkan bahwa kenakalan remaja ialah kelainan tingkah laku, perbuatan atau tindakan remaja yang bersifat asosial bahkan anti-sosial yang melanggar norma-norma sosial, agama serta ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Menurut Cavan (dalam Willis, 2008: 88) kenakalan remaja disebabkan kegagalan mereka dalam memperoleh pergaulan dari masyarakat tempat mereka tinggal.
Jensen (dalam Sarwono, 2007: 209) membagi kenakalan remaja menjadi 4 (empat) jenis, yaitu:
1) Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain, seperti: perkelahian, pemerkosaan, perampokan, pembunuhan, dll.
2) Kenakalan yang menimbulkan korban materi, seperti: perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan, dll.
3) Kenakalan sosial yang menimbulkan korban diihak orang lain, seperti pelacuran, penyalahgunaan obat, dll.
4) Kenakalan yang melawan status, seperti: membolos, minggat dari rumah dll.
b. Perkelahian remaja sekolah (tawuran)
Menurut Tambunan (2001:1) perkelahian remaja sekolah (tawuran) dapat digolongkan ke dalam 2 (dua) kondisi penyebab terjadinya, yaitu (1) situasional dan (2) sistematik. Pada kondisi situasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang mengharuskan mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya muncul akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat. Sedangkan pada kondisi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu berada di dalam suatu organisasi tertentu (geng). Di sini ada aturan, norma dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti angotanya, termasuk berkelahi. Sebagai anggota, mereka bangga kalau dapat melakukan apa yang diharapkan oleh kelompoknya.
Selanjutnya Tambunan (2001:1) menjelaskan bahwa terjadinya tawuran sedikitnya disebabkan oleh 4 (empat) faktor psikologis, yakni sebagai berikut:
1) Faktor internal
Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang/ pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah.
2) Faktor keluarga
Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan akan berdampak pada anak ketika menginjak remaja, dimana mereka menganggap kekerasan adalah bagian dari dirinya. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirinya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.
3) Faktor sekolah
Lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya.
4) Faktor lingkungan
Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian, misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya pencandu narkoba).
c. Penyalahgunaan NAPZA
NAPZA (Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya) yaitu sejumlah zat-zat tertentu yang mempengaruhi sistem saraf dan menyebabkan ketergantungan (adiksi). Selain istilah NAPZA sering juga kita dengar istilah Narkotika maupun Narkoba, namun dari maraknya berbagai zat yang disalahgunakan, penggunaan istilah narkotika saja kurang tepat karena tidak mencakup alkohol, nikotin dan kurang menegaskan sejumlah zat yang banyak dipakai yaitu zat psikotropika (Tambunan, 2001:1).
Beberapa jenis NAPZA yang populer digunakan di Indonesia seperti (1) Putau, tergolong heroin yang sangat membuat ketergantungan, berbentuk bubuk, (2) Ganja, berisi zat kimia delta-9-tetra hidrokanbinol, berbentuk tanaman yang dikeringkan, (3) Shabu-shabu, kristal yang berisi methamphetamine, (4) Ekstasi, methylendioxy methamphetamine dalam bentuk tablet atau kapsul, (5) Pil BK, megadon dan obat-obat depresan sejenis, dan (6) sejumlah jenis-jenis narkoba lainnya seperti Marijuana, Cocaine, Methamphetamne, Heroin.
Pada awalnya, zat-zat ini digunakan untuk tujuan medis seperti penghilang rasa sakit. Namun apabila zat-zat ini digunakan secara tetap, bukan untuk tujuan medis atau yang digunakan tanpa mengikuti dosis yang seharusnya, serta dapat menimbulkan kerusakan fisik, mental dan sikap hidup masyarakat, maka disebut penyalahgunaan NAPZA. Salah satu sifat yang menyertai penyalahgunaan NAPZA adalah ketergantungan (addiction). Ketergantungan terhadap NAPZA ini antara lain memiliki ciri-ciri antara lain:
1) Keinginan yang tak tertahankan untuk mengkonsumsi salah satu atau lebih zat yang tergolong NAPZA.
2) Kecenderungan untuk menambah dosis sejalan dengan batas toleransi tubuh yang meningkat.
3) Ketergantungan psikis, yaitu apabila penggunaan NAPZA dihentikan akan menimbulkan kecemasan, depresi dan gejala psikis lain.
4) Ketergantungan fisik, yaitu apabila pemakaian dihentikan akan menimbulkan gejala fisik putus zat (lemah fisik).
5. Masalah yang berkaitan dengan perubahan tingkah laku pada usia remaja
Soesilowindradini (2000: 132-219) dalam buku Psikologi Perkembangan Remaja mengemukakan bahwa, pada masa remaja yang ditandai dengan mulainya masa pubertas, terjadi beberapa perubahan perilaku pada anak usia remaja yang sering dilihat sebagai suatu masalah pada tahap perkembangannya. Perubahan tingkah laku dimaksud antara lain sebagai berikut:
a. Pada masa pubertas (usia 12-15 tahun)
Pengaruh kedatangan masa pubertas pada remaja awal melahirkan beberapa perubahan tingkah laku remaja seperti: keinginan untuk menyendiri, keseganan untuk bekerja, merasa bosan, bersikap tidak tenang, antagonisme sosial (menentang kehendak orang lain), menentang orang-orang yang lebih berkuasa dari padanya, antagonisme seks (pertentangan antara laki-laki dan perempuan), emosionalitas (cendrung cepat marah), kurang percaya pada diri sendiri, mengalami rasa malu yang berlebihan, senang melamun dan lain sebagainya.
b Pada masa remaja awal (usia 15-18 tahun)
Pada usia ini, remaja berada pada situasi krisis yang dialaminya, yang ditandai dengan terjadinya perubahan tingkah seperti: merasa dalam status yang tidak menentu, cendrung emosional (seperti marah, takut, malu, cemas, iri hati, kasih sayang, gembira, rasa ingin tahu, sedih, dan lain-lainnya), keadaan yang emosi maupun isik tidak stabil (labil), mempunyai banyak masalah, mengidam-idamkan bentuk jasmaniyah yang sempurna, menghendaki kebebasan, bingung dalam memahami nilai-nilai, suka terhadap lawan jenis, ingin selalu berhasil, selalu kritis terhadap sesuatu. Selain itu juga, dewasa ini banyak pula para remaja yang memiliki kecendrungan suka dengan sesama jenisnya.
c. Pada masa remaja akhir (usia 17-21 tahun)
Pada usia ini, remaja sudah cendrung menjadi mandiri dan sedikit demi sedikit telah mampu mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya, seperti: kestabilan sudah mulai bertambah, sudah lebih matang, memiliki ketenangan emosional, lebih realistis dan sebagainya.
D. Cara-cara Mengatasi Masalah-masalah Pada Anak Usia Remaja
1. Membantu para remaja dalam menyesuaikan diri
a. Sikap demokratis orang tua dalam keluarga
Penyesuaian diri di dalam keluarga sangat ditentukan oleh sikap demokratis orang tua. Demikian pula di sekolah, anak pada usia remaja sangat membutuhkan bimbingan dan pengarahan dari pendidik (guru) dalam suasana belajar yang demokratis dan positif.
Baumrind (dalam Nur, 2004: 39) menyatakan hasil penelitiannya bahwa orang tua yang otoritatif (istilah untuk menyebut sikap orang tua yang demokratis) adalah orang tua yang paling efektif dalam mendidik anak, karena orang tua yang deokratis cendrung memilki anak-anak yang mandiri, tegas, mudah bergaul dan lain-lainnya. Beberapa tips yang dapat dilakukan oleh orang tua, antara lain sebagai berikut (Setiono, 2002:1):
1) Mulailah menganggap anak sebagai teman dan akuilah ia sebagai orang yang akan berangkat dewasa. Jangan memperlakukan anak (remaja) seperti anak kecil, meskipun mereka sudah berusaha menunjukkan bahwa keberadaan mereka sebagai calon orang dewasa
2) Hargai perbedaan pendapat dan ajaklah berdiskusi secara terbuka. Anak (remaja) akan sangat menghargai dan menghormati orang tua bijak yang bisa dijadikan teman
3) Tetaplah tegas pada nilai yang Anda anut walaupun anak remaja anda mungkin memiliki pendapat dan nilai yang berbeda. Biarkan nilai Anda menjadi jangkar yang kokoh di mana anak remaja anda bisa berpegang kembali setelah mereka lelah membedakan dan mempertanyakan alternatif nilai yang lain.
4) Jangan malu atau takut berbagi masa remaja Anda sendiri. Biarkan mereka mendengar dan belajar apa yang mendasari perkembangan diri Anda dari pengalaman Anda
5) Mengertilah bahwa masa remaja untuk anak anda adalah masa yang sulit. Perubahan mood (suasana hati) sering terjadi dalam durasi waktu yang pendek, jadi anda tidak perlu panik jika anak remaja anda yang biasanya riang tiba-tiba bisa murung dan menangis lalu tak lama kemudian kembali riang tanpa sebab yang jelas
6) Jangan terkejut jika anak anda bereksperimen dengan banyak hal, misalnya mencat rambutnya menjadi biru atau ungu, memakai pakaian serba sobek, selama hal-hal itu tidak membahayakan, mereka layak mencoba masuk ke dalam dunia yang berbeda dengan dunia mereka saat ini
7) Kenali teman-teman anak remaja Anda, bertemanlah dengan mereka jika itu memungkinkan, namun waspadalah jika anak Anda sangat tertutup dengan dunia remajanya, mungkin ia tidak/ kurang mempercayai anda atau ada yang disembunyikannya.
b. Membangun saling ketergantungan positif dalam pembelajaran di sekolah
Membangun saling kergantungan positif antara pendidik dengan peserta didik maupun antara peserta didik dengan teman-temannya membutuhkan suasana belajar yang aktif, kreatif, efektif dan menyenagkan, serta memberikan tauladan yang baik dari setiap pendidik (guru). Demikian pula, dalam hal penanaman disiplin belajar, peserta didik dapat diberikan hukuman (punisment) pada anak saat ia memunculkan perilaku yang salah dan memberikan pujian atau hadiah (reward) saat ia memunculkan perilaku yang baik atau benar. Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain (Rutbah, 2008:19):
1) Agar anak lebih rasional, dampingi mereka dengan dialog dan memberikan wawasan pengetahuan dan sosial, agar mereka mempunyai bayak alternatif-alternatif pilihan, sehingga proses kedewasaan berfikir menjadi lebih cermat
2) Mendidik secara positif, tidak menghukum, tetapi menyesuaikan (mengurangi) hak istimewa anak bila perlu. Setelah remaja terbukti dapat dipercaya hendaknya diberi kepercayaan lebih besar
3) Sempatkan berkomunikasi dengan mereka sekaligus memberikan nasehat bila perlu
4) Memberi tauladan dari semua sikap, bahasa, dan perilaku
c. Mengembangkan pendidikan informal di masyarakat
Penyesuaian diri remaja di masyarakat dapat dibina melalui peningkatan peran pendidikan informal, seperti pendidikan melalui tayangan televisi dan pendidikan melalui organisasi kemasyarakatan seperti karang taruna. Selain itu juga dapat dilakukan dengan penaman minat dan pengembangan budaya tempat mereka tinggal, mengadakan diskusi terbuka, ceramah-ceramah, dan lain sebagainya .
2. Mengatasi masalah seksual melalui pendidikan seks
Mengatasi masalah seksual para remaja dapat dikakukan dengan memberikan pendidikan seks bagi remaja bahkan sejak dini. Pendidikan seks dilakukan untuk menolong remaja dalam menghadapi masalah hidup yang bersumber pada dorongan seksual. Pendidikan seks ini ditujukan untuk menerangkan segala hal yang berhubungan dengan seks dan seksualitas dalam bentuk yang wajar. Namun dalam hal ini, pendidikan seks haruslah dilengkapi dengan pendidikan etika, pendidikan tentang hubungan antar sesama manusia baik dalam hubungan keluarga maupun di dalam masyarakat.
Tujuan dari pendidikan seks adalah bukan untuk menimbulkan rasa ingin tahu dan ingin mencoba hubungan seksual antara remaja, tetapi untuk menyiapkan agar remaja tahu tentang seksualitas dan akibat-akibatnya bila dilakukan tanpa mematuhi aturan hukum, agama dan adat istiadat serta kesiapan mental dan material seseorang. Selain itu pendidikan seksual juga bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan mendidik anak agar berperilaku yang baik dalam hal seksual, sesuai dengan norma agama, sosial dan kesusilaan. Jadi tujuan pendidikan seksual adalah untuk membentuk suatu sikap emosional yang sehat terhadap masalah seksual dan membimbing anak dan remaja ke arah hidup dewasa yang sehat dan bertanggung jawab terhadap kehidupan seksualnya
Mu'tadin (2002:1) menjabarkan tujuan pendidikan dengan lebih lengkap sebagai berikut:
a Memberikan pengertian yang memadai mengenai perubahan fisik, mental dan proses kematangan emosional yang berkaitan dengan masalah seksual pada remaja.
b Mengurangi ketakutan dan kecemasan sehubungan dengan perkembangan dan penyesuaian seksual (peran, tuntutan dan tanggungjawab)
c Membentuk sikap dan memberikan pengertian terhadap seks dalam semua manifestasi yang bervariasi
d Memberikan pengertian bahwa hubungan antara manusia dapat membawa kepuasan pada kedua individu dan kehidupan keluarga.
e Memberikan pengertian mengenai kebutuhan nilai moral yang esensial untuk memberikan dasar yang rasional dalam membuat keputusan berhubungan dengan perilaku seksual.
f Memberikan pengetahuan tentang kesalahan dan penyimpangan seksual agar individu dapat menjaga diri dan melawan eksploitasi yang dapat mengganggu kesehatan fisik dan mentalnya.
g Untuk mengurangi prostitusi, ketakutan terhadap seksual yang tidak rasional dan eksplorasi seks yang berlebihan.
h Memberikan pengertian dan kondisi yang dapat membuat individu melakukan aktivitas seksual secara efektif dan kreatif dalam berbagai peran, misalnya sebagai istri atau suami, orang tua, anggota masyarakat.
.
3. Mencegah terjadinya gangguan kejiwaan pada anak remaja
Dalam rangka membantu anak agar tidak terjebak pada gangguan kejiwaan seperti, hiperaktivitas dan depresi, neurosis, reaksi konversi, skizofrenia anorexia nervosa, bulimia bahkan sampai bunuh diri, maka hal-hal yang harus diperhatikan antara lain adalah:
a. Memahami kebutuhan-kebutuhan remaja
Kebutuhan remaja seperti kebutuhan biologis, kebutuhan psikologis dan kebutuhan sosial haruslah dapat diarahkan untuk dapat terpenuhi secara wajar. Kebutuhan biologis adalah kebutuhan yang berasal dari biologis yang sudah dibawa sejak lahir, seperti motif untuk makan, minum, dorongan seks dan lain sebagainya. Kebutuhan psikologis adalah segala dorongan kejiwaan yang bersifat individual yang berkaitan dengan psikis seperti kebutuhan beragama dan kebutuhan akan rasa aman. Sedangkan kebutuhan sosial adalah kebutuhan yang berkaitan dengan kebutuhan orang lain atau ditimbulkan oleh orang lain atau hal-hal di luar dirinya, seperti kebutuhan untuk dikenal, untuk mendapatkan reson dari orang lain, untuk memiliki sesuatu, dan lain-lainya.
Kebutuhan remaja di atas dapat terlihat pada perilaku mereka antara lain seperti: (1) kecendrungan untuk menarik perhatian orang lain, seperti memakai pakaian yang aneh-aneh modelnya, warna yang mencolok, kebut-kebutan dan lain-lainnya, (2) kecendrungan untuk hidup dalam kelompok-kelompok sebaya/ geng/ peer group, (3) keinginannya untuk berkawan dengan lawan jenisnya, karena adanya dorongan-dorongan seksual yang sedang berkembang, seperti berpacaran, (4) keinginan untuk aktualisasikan diri, dalam arti dapat melaksanakan semua kemampuan yang dimiliki, cita-cita, serta tujuan yang telah direncanakan.
Dalam rangka hal tersebut, baik keluarga, sekolah maupun lingkungan masyarakat dapat mengarahkan anak-anak remaja dengan hal-hal sebagai berikut:
1) Membuka kesempatan seluas-luasnya bagi remaja untuk berlomba menyalurkan keinginan-keinginannya, seerti balap mobil/motor, lomba mode pakaian, mode rambut, mode kacamata, lomba tarik suara, cerdas cermat, dan lain-lainnya.
2) Memberikan kesempatan untuk berorganisasi, berkarya, olah raga, seni, perkumpulan pers dan lain-lain, baik dalam organisasi sekolah maupun masyarakat seperti karang taruna.
3) Memberikan bimbingan dan konsling kepada remaja, yakni bimbingan khusus mengenai kehidupan berkeluarga yang susila dan beragama. Dalam hal ini pendidikan agama menjadi suatu hal yang sangat penting untuk mengarahkan serta membentengi mereka dari hal-hal yang dapat menjurus pada perzihan, dan memahami bahwa berpacaran bukanlah suatu masa untuk melampiaskan nafsu birahi, melainkan suatu masa pembinaan watak kearah pengertian kehidupan berumah tangga.
4) Dalam hal aktualiasasi remaja, diperlukan bimbingan orang tua dan guru, agar usaha untuk aktualisasi diri remaja tidak akan mengalami kesia-siaan.
b. Memberikan kesempatan kepada mereka untuk belajar bertanggung jawab
Remaja yang diberi kesempatan untuk mempertangung-jawabkan perbuatan mereka, akan tumbuh menjadi orang dewasa yang lebih berhati-hati, lebih percaya-diri, dan mampu bertanggung-jawab. Rasa percaya diri dan rasa tanggung-jawab inilah yang sangat dibutuhkan sebagai dasar pembentukan jati-diri positif pada remaja. Bimbingan orang yang lebih tua sangat dibutuhkan oleh remaja sebagai acuan bagaimana menghadapi masalah itu sebagai seseorang yang baru, berbagai nasihat dan berbagai cara akan dicari untuk dicobanya. Dalam hal ini orang tua hendaknya menjadi tokoh teladan (idola) bagi anak-anaknya.
c. Mengembangkan keterampilan sosial remaja
Mengembangkan ketrampilan sosial remaja dapat membantunya dalam menyesuaikan diri dengan kehidupan. Ketrampilan-ketrampilan sosial tersebut seperti: kemampuan berkomunikasi, menjalin hubungan dengan orang lain, menghargai diri sendiri dan orang lain, mendengarkan pendapat atau keluhan dari orang lain, memberi atau menerima kritik, bertindak sesuai norma dan aturan yang berlaku, dan lain sebagainya.
d. Memberi bekal pemahaman terhadap nilai-nilai dan pengetahuan agama,
Pemahaman terhadap nilai-nilai dan ajaran agama akan mengarahkan remaja pada situasi sosial dan rohani yang religius, dimana kehidupannya dapat dihiasi dengan keyakinan dan ketakwaan terhadap Allah SWT yang akan dapat diwujudkannya dalam kegiatan sehari-hari. Hal ini dapat diupayakan dengan menciptakan rumah tangga yang teratur dan religius, mendidik mereka untuk patuh melaksanakan ajaran-ajaran agama, melatih disiplin dan lain-lainnya. Sedangkan dalam dunia pendidikan, salah satu caranya adalah dengan menekankan pengembangan aspek afeksi peserta didik dalam pembelajaran .
4. Mencegah terjadinya perilaku menyimpang
Dalam hal mengatasi perilaku menimpang remaja seperti kenakalan remaja, tawuran, maupun penyalahgunaan NAPZA, dibutuhkan peranan penting orang tua, sekolah maupun masyarakat secara bersama-sama. Beberapa hal yang perlu diperhatikan guna mencegah terjadinya perilaku menyimpang antara lain:
a. Menjalin pergaulan yang tulus antara orang tua dengan anak maupun antara pendidik dengan peserta didik serta memberikan pendampingan, perhatian dan cinta sejat,
Setiap individu memerlukan rasa aman dan merasakan dirinya dicintai. Sejak lahir satu kebutuhan pokok yang yang pertama-tama dirasakan manusia adalah kebutuhan akan kasih sayang yang dalam masa perkembangan selanjutnya di usia remaja, kasih sayang, rasa aman, dan perasaan dicintai sangat dibutuhkan oleh para remaja. Dengan usaha-usaha dan perlakuan-perlakuan yang memberikan perhatian, cinta yang tulus, dan sikap mau berdialog, maka para remaja akan mendapatkan rasa aman, serta memiliki keberanian untuk terbuka dalam mengungkapkan pendapatnya.
b. Memberikan kesempatan untuk mengadakan dialog dengan mereka
Sikap mau berdialog antara orang tua di rumah, pendidik di sekolah, dan masyarakat dengan remaja pada umumnya adalah kesempatan yang diinginkan para remaja. Dalam diri remaja tersimpan kebutuhan akan nasihat, pengalaman, dan kekuatan atau dorongan dari orang tua, maupun guru di sekolah.
c. Melakukan Metode Konseling Terpadu
Metode Konseling Terpadu adalah upaya memberikan bantuan kepada klien kecanduan narkoba dengan menggunakan beragam pendekatan konseling dan memberdayakan klien terhadap lingkungan sosial agar klien segera menjadi anggota masyarakat yang normal dan dapat menghidupi diri dan keluarga (Willis, 2008:175). Konseling Terpadu mencakup beberapa program terkait dan terintegrasi yaitu konseling individual dan agama, konseling keluarga, bimbingan kelompok berupa kegiatan diskusi dan ceramah, pelatihan, kunjungan, dan partisipasi sosial. Perpaduan semua program tersebut membantu klien sehingga menurunkan bahkan menghilangkan kecanduan. Perubahan klien terjadi pada ranah-ranah mental, emosional, spritual, dan sosial. Dengan demikian, metode Konseling Terpadu ini dapat membantu mengantipasi serta mencegah terjadinya penyalahgunaan narkoba (NAPZA).
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Dari uraian makalah ini, maka dapat disimpulkan beberapa hal yakni sebagai berikut :
1. Masalah-masalah yang terjadi ada anak usia remaja antara lain: (1) kesulitan menyesuaikan diri baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun di lingkungan masyarakat, (2) adanya dorongan (hasrat) seksual yang ingin dipenuhi, (3) masalah gangguan kejiwaan (psikopatologi) seperti hiperaktivitas, depresi, neurosis, reaksi konversi, skizofrenia, anorexia nervosa, bulimia, dan bunuh diri, dan (4) perilaku menyimpang seperti kenakalan remaja, tawuran, penyalahgunaan NAPZA.
2. Cara-cara untuk mengatasi masalah-masalah tersebut di atas antara lain adalah: (1) sikap demokratis orang tua dalam mendidik anak-anaknya dalam lingkungan keluarga, (2) membangun sikap saling ketergantungan positif dalam pembelajaran di sekolah, (3) mengembangkan pendidikan informal di masyarakat, (4) memberikan pendidikan seks pada remaja, (5) memahami kebutuhan-kebutuhan remaja, (6) memberikan kesempatan kepada anak (remaja) untuk belajar bertanggung jawab, (7) mengembangkan keterampilan sosial remaja, (8) memberi bekal pemahaman terhadap nilai-nilai dan pengetahuan agama, (9) menjalin pergaulan yang tulus antara orang tua dengan anak maupun antara pendidik dengan peserta didik serta memberikan pendampingan, perhatian dan cinta sejati, (10) memberikan kesempatan untuk mengadakan dialog mereka (remaja), dan (11) melakukan metode Konseling Terpadu.
B. Saran
Beberapa saran yang dapat dilaksanakan berdasarkan hasil penulisan makalah ini, antara lain:
1. Orang tua, pendidik (guru) maupun pemerintah hendaknya secara bersama-sama melakukan upaya-upaya positif untuk mengarahkan para remaja menuju suasana psikis maupun sosial yang kondusif agar semua potensi yang dimiliki anak pada usia remaja dapat berkembang kearah yang positif.
2. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi anak ada usia remaja haruslah dipandang secara positif agar dapat dilakukan upaya pencegahan sejak dini baik baik melalui upaya preventif (bersifat terencana) maupun upaya kuratif (bersifat antisipasi).
DAFTAR PUSTAKA
______.2008. Perilaku Menyimpang Remaja Dan Solusinya. Artikel: http://www.sekolahindonesia.com/sidev/NewDetailArtikel.asp?iid_artikel=13&cTipe_artikel=3. Diakses: Selasa, 30 Desember 2008
Monk, A.M.P. Knoers, dan Siti Rahayu Haditomo. 2006. Psikologi Perkembangan, Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gajagmada University Press
Mu'tadin, Zainun. 2002. Pendidikan Seksual Pada Remaja. Artikel : http://www.e-psikologi.com/remaja/100702.htm. Diakses: Selasa, 16 Desember 2008
Mu’tadin, Zainun. 2002. Obesitas dan Faktor Penyebab. Artikel: http://www.e-psikologi.com/remaja/130502.htm. Diakses: Selasa, 30 Desember 2008
Nur, Muhammad. 2004. Perkembangan Selama Anak-anak dan Remaja. Surabaya: Pusat Sains dan Matematika Sekolah Unesa
Pidarta, Made. 2005. Pengembangan Pendidika Informal. Artikel. Surabaya: Unesa University Press.
Pidarta, Made. 2007. Wawasan Pendidikan. Surabaya: Unesa University Press
Rutbah, Qadrat Asyraf. 2008. Ketika Remaja Mulai Menjadi Pemberontak. Artikel: Majalah Al-Hikmah, Edisi September 2008
Sarwono, Sarlinto Wirawan. 2007. Psikologi Remaja. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Setiono, Liliy H. 2002. Beberapa Permasalahan Remaja. Artikel : http://www.e-psikologi.com/remaja/130802.htm. Diakses : Selasa, 16 Desember 2008
Soesilowindradini. 2000. Psikologi Perkembangan Masa Remaja. Surabaya: Usaha Nasional
Tambunan, Rymond. 2001. Perkelahian Pelajar. Artikel: http://www.e-psikologi.com/remaja/161001.htm. Diakses: Selasa, 16 Desember 2008
Tambunan, Rymond. 2001. Remaja dan NAPZA. Artikel: http://www.e-psikologi.com/remaja/napza.htm. Diakses: Selasa, 16 Desember 2008
Tambunan, Rymond. 2002. Anoreksia Nervosa. Artikel: http://www.e-psikologi.com/remaja/180102.htm. Diakses: Selasa, 16 Desember 2008
Willis, Sofyan S. 2008. Remaja dan Masalahnya, Mengupas berbagai bentuk kenakalan remaja, narkoba, free sex dan pemecahannya. Bandung: Alfabeta
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar