11 Februari 2009

Pengembangan Afeksi

PENGEMBANGAN AFEKSI DAN PEMBUDAYAAN PANCASILA
Oleh : Mujtahidin, S.Pd.

A. Pengertian afeksi
(91) Masalah yang berhubungan dengan pengertian afeksi:
adanya kekurangpahaman akan pengertian afeksi disebabkan dunia pendidikan Indonesia kurang mengembangkan afeksi hanya kognisi dan psikomotorik saja
(91) Aliran Rasionalisme:
aliran dalam dunia pendidikan yang hanya memperhatikan pengembangan rasio atau intelek atau kognisi saja
(92) Contoh pendapatnya:
kalau rasio peserta didik dapat dikembangkan dengan baik,maka semua masalah kehidupan dapat diatasinya dengan baik.
(92) Aliran Positivisme:
meyakini kebenaran adalah hal-hal yang dapat diamati oleh pancaindera, jikalau sesuatu tidak bisa diamati dengan pancaindera dipandang tidak benar
(92) Contoh pendapatnya:
hal-hal yang bersifat kejiwaan, seperti etika, nilai2, ketuhanandianggap tidak perlu diajarkan, dan materi yang diajarkan hanya obyek yang bisa dilihat, diraba didengar, dikecap dan berbau menuruti intelek kognisi
(92) Hasil penelitian (Usman,2001:5) menyatakan:
pendidikan kurang menekankan afeksi, kreativitas, berfikir, sikap membangun dan landasan moralitas, sehingga pendidikan menghasilkan kehidupan yang lebih bersifat materialistis.
(92) Hasil penelitian (Subiyanto,2007:4) menyatakan: bangsa2 yang maju di dunia seperti AS, kanada, Jepang, Jerman, Inggris menyatakan bukan karena penduduknya pintar2 melainkan karena sikap dan perilaku mereka, yang menjadi dasar komitmen, kerja sama, saling menghargai, dan saling membenatu dalam upaya mencapai target yang telah ditentukan
(93) Contoh penerapan afeksi di negara maju:
1. dalam recruiting karyawan yang ditanyakan hal afeksi (tanggung jawab, kerjasama, toleransi, kedisiplinan, mengenai kognisi (hanya dilihat ijasah/rapor terakhir), psikomotorik dilatih setelah diterima
2. ahli kemanusiaan dalam ukur kemampuan awalnya dari IQ (kognisi) beralih ke EQ (afeksi) karena mereka meyakini EQ lebih baik dari IQ dalam mengembangkan kehidupan secara lebih baik
3. menurut penelitian, IQ (kognisi) memberi kontribusi 20% dalam kesuksesan hidup sisanya ditentukan factor EQ (afeksi) atau sebagian besar peranan.
(94) Afeksi adalah:
Bagian jiwa manusia yang bertalian dengan kemampuan mengadakan kontak hubungan antar manusia, mengadakan kerjasama,tolong menolong, menghargai orang lain,mempertahankan keyakinan dan lainnya
(94) Struktur jiwa menurut Dewantara (bagan 16):
Cipta, rasa, karsa persamaannya, cipta=pikiran=kognisi, rasa=perasaan=afeksi, karsa=kemauan=afeksi. Ditambah karya (pada waktu golkar), karya=psikomotor
(95) Akuntabilitas adalah:
Tanggung jawab plus dan keterbukaan
(95) Contoh kasus:
kalau pendidik sudah menyelesaikan seluruh bahan ajarnya tepat waktu saja berarti sudah tanggung jawab, namun bila ditambah semua merasa puas dengan pengajarannya berarti akuntabel, tapi jika belum memuaskan hanya tanggung jawab saja terhadap pengajaran
(95) Kaitan antara sikap dan komitmen adalah:
sikap adalah kecenderungan seseorang yang masih dalam pikiran dan hatinya. Kalau sikap itu sudah direalisasikan dalam perilaku sehari hari maka sikap berubah menjadi komitmen (seks pranikah pada remaja)
(96) Maksud religius adalah:
perilaku seseorang yang belum diwujudkan dalam kehidupan nyata maupun sudah dilaksanakan bertalian dengan ajaran agama (sikap toleransi agama lain)

B. Pengertian budaya
(97) Devinisi budaya yang pertama:
semua hasil pikiran, perasaan,kemauan, dan karya manusia atau juga dapat disebut semua hasil afeksi, kognisi, psikomotor manusia
(97) Contoh afeksi, kognisi, psikomotor dalam budaya:
afeksi (adapt istiadat, tata cara pertemuan desa), kognisi (kreativitas membuat jalan layang, membuat kera bisa menari), psikomotor (kemampuan menabuh gamelan, menebang kayu dengan kapak)
(97) Unsur- unsur budaya:
1.gagasan 2.ideologi 3.norma 4.kepandaian 5.ilmu 6.teknologi 7.kesenian 8.benda buatan manusia
(98) Pengertian dari unsur budaya (bagan 17):
1. gagasan : awal dari sesuatu sebagai ciptaan manusia untuk kegiatan tertentu
2. ideology : ciptaan manusia yang sudah relative bertahan lama
3. norma : nilai2 kehidupan manusia yang diciptakan bersama serta dilaksanakan bersama di masyarakat
4. kepandaian : segala sesuatu yg telah dipelajari, kemudian menjadi milik dan isi kemampuan manusia yang dimanfaatkan untuk merealisasikan kehidupan
5. ilmu : teori2 yang dibangun berdasarkan hasil penelitian
6. teknologi : ilmu yang sudah diaplikasikan berupa barang atau benda
7. benda buatan manusia : teknologi, kesenian, barang lainnya
(98) Devinisi budaya yang kedua:
Cara hidup dan kehidupan yang sudah dikembangkan dan disepakati bersama oleh masyarakat
(98) Uraian cara hidup dan kehidupan:
1. Cara hidup : bagaimana seseorang menjalani hidupnya apakah dengan bekerja giat ataukah bermalasan bahkan hanya mengemis saja
2. Kehidupan : bagaimana wujud hidup seseorang apakah sengsara ataukah enak, mata pencaharian apa, kedudukan seperti apa
(99) Tinjauan pengertian budaya:
1. sangat luas : semua hasil budidaya manusia
2. agak terbatas : cara hidup dan kehidupan yang disepakati bersama oleh masyarakat
(100) Perbandingan antara kebudayaan dan peradaban:
Pada hakekatnya kebudayaan dan peradaban sama
1. kebudayaan : sesuatu yang sudah berkembang bisa individual bisa juga berkelompok
2. peradaban : lawan dari primitive (berkonotasi kelompok atau bangsa)
(100) Hubungan dengan Pancasila:
perlu dikembangkan agar bisa memiliki budaya Pancasila dalam kehidupan keseharian baik individu maupun kelompok, kalau berhasil oleh generasi penerus Indonesia mereka dapat disebut memiliki peradaban Pancasila
(101) Alasan Pancasila harus dilaksanakan dan dipertahankan:
karena Pancasila merupakan falsafah Negara, apapun yang dilakukan harus sesuai nilai Pancasila terutama perilaku diarahkan berbudaya Pancasila

C. Proses pengembangan afeksi dan budaya Pancasila
(101) Samawi (2001:107) mengatakan :
perubahan mulai dilakukan dengan meninggalkan banyak nilai lama, sementara nilai baru belum banyak dipahami dan dipegang, nilai baru itu adalah kebebasan, pluralisme, HAM, individualisasi dalam pendidikan, perubahan hanya dapat dilakukan dengan menempatkan kembali Pancasila di berbagai sendi kehidupan
(102) Pengembangan afeksi termasuk juga penanaman nilai2 pada sila sila merupakan juga pengembangan budaya yang adalah buatan manusia
(102) Proses pengembangan afeksi dijadikan satu dengan cara membudayakan Pancasila agar efisien baik konsep dan praktek di lapangan
(103) Sebab Pancasila tak disentuh dan diterapkan dunia pendidikan:
karena dianggap keramat, yang boleh membahas hanya BP7 pusat dan diuraikan yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun
(103) Hak otonomi dalam pembudayaan Pancasila adalah:
1. Hak untuk mensistematiskan cara cara membahas Pancasila
2. Hak untuk memberikan uraian tambahan agar lebih jelas
3. Hak untuk memberi contoh agar pemahaman menjadi lebih mantap
(104) Pembudayaan Pancasila secara sistematis:
1. Mendeskripsikan sila2 Pancasila
a. sila 1 oleh rohaniawan agama
b. sila 2 oleh ahli HAM & filosof
c. sila 3 oleh politisi & negarawan
d. sila 4 oleh politisi & ahli HAM
e. sila 5 oleh ahli ekonomi & budayawan
2. Dipakai langsung oleh kalangan perguruan tinggi
3. Untuk tingkat sekolah deskripsi perlu dijabarkan oleh ahli pendidikan tentang metodologi pembelajaran yang sesuai untuk tiap jenjang pendidikan
(105) Pendidikan yang mengandung banyak unsure afeksi (bagan 20):
1. pendidikan agama
2. pendidikan kewarganegaraan
3. pendidikan Pancasila
4. pendidikan seni dan budaya
(105) Dalam proses pembelajaran pengembangan afeksi peran pendidik sebagai fasilitator dengan tekanan kegiatan lebih diutamakan pada perilaku sehari2 atau praktek disbanding dengan memahami teori.

D. Pelibatan mata- mata pelajaran
(106) Masalah yang bertalian pelibatan mata pelajaran dgn afeksi adalah:
Pendidik tidak mengaitkan pelajaran satu dengan lainnya, pembuatan TIK & TUK yang hanya mengkotak2 pelajaran agar dapat diukur secara akademis dalam pengguasaan ilmunya, sehingga kalau TIK & TUK sudah tercapai dianggap selesai
(107) Akibat dari afeksi hanya sebagai pengiring saja adalah:
Terlihat sebagian ahli dan sebagian terampil tetapi banyak diantaranya nepotisme, korupsi,curang, mementingkan diri dan kelompok akibat dari sanubari yang tidak tersentuh dalam pendidikan
(107) Cara mengatasinya adalah:
Dalam mengembangkan afeksi tidak cukup hanya 4 pelajaran saja tetapi seluruh mata pelajaran dilibatkan dalam pengembangan afeksinya, tiap pelajaran saling mendukung dan dicari keterkaitan antar pelajaran,serta dicari bagian mana yang perlu dikembangkan afeksinya
(108) Contoh pelibatan pelajaran pada pengembangan afeksi adalah:
1. Formal : matematika (belajar kelompok), olah raga (tim bermain)
2. Non formal: Kejar paket ABC, ormas, lembaga belajar- lewat ceramah2
3. Informal: pendidikan keluarga, lingkungan masyarakata harus terarah & baik
(108) Mengapa pengembangan afeksi di nonfromal dan informal perlu?:
Karena sebagian besar pengembangan afeksi dilakukan di informal, keluarga dan masyarakat, sedangkan di formal dan nonformal hanya punya waktu sebentar. Sebaiknya ketiga jalur pendidikan dikelola bersama saling mendukung yang difasilitasi pemerintah dan masyarakat demi pengembangan peserta didik menjadi manusia yang dicita-citakan dalam tujuan pendidikan nasional

E. Evaluasi afeksi dan budaya
(110) Permasalahan bagi pendidik terhadap alat ukur afeksi:
pendidik terbiasa membuat evaluasi kognisi dan sedikit psikomotor seperti tes prestasi belajar dan daftar pertanyaan untuk mengetahui penguasaan materi pelajaran yang berorientasi akademik. Sebaliknya alat ukur afeksi sulit diketemukan dan dikreasikan. Oleh sebab itu pengembangan evaluasi afeksi tidak segera diikuti sosialisasi pembuatan alat ukur dan cara mengukur afeksi
(111) Ada 2 (dua) cara ukur afeksi:
1. alat ukur yang terbaik adalah kepribadian karena tingkat validitas dan reliabilitasnya bisa ditentukan, kesulitannya merumuskan tes tersebut. Ahli psikologi yang dapat pembuat tes ini psikometri
2. alat ukur kedua adalah dengan mengobservasi perilaku atau afeksi peserta didik (PPSNP,2005:49) cara ini lebih praktis namun tak sebaik uji ukur pertama karena bisa terjadi efek bias dan haloefek
(112) “Haloefek” artinya :
Pengaruh hubungan pendidik dengan peserta didik yang membuat bias observasi. Bila hubungan mereka jelek maka ditulis jelek, jika hubungan mereka baik ditulis baik tergantung kondisi waktu penilaian
(113) Hal- hal yang perlu dijelaskan dalam evaluasi model kedua:
Sebelumnya dijelaskan kepada siswa dan wali siswa tentang ada evaluasi afeksi
1. pelaksanaan evaluasi dilakukan oleh semua pendidik di lembaga tersebut
2. hasil evaluasi bisa diskor sendiri atau diserahkan ke guru maple afeksi
3. tidak perlu semua diobservasi, tapi hanya yang perilaku kurang baik dan baik sekali saja agar mudah
4. pedoman observasi berbentuk penilaian sehingga evaluasi bisa berbentuk skor
5. hasil penilaian skor afeksi dimasukkan dalam nilai rapor seperti biasa
(114) Menegur pada waktu ada kesalahan dan langsung memberikan penegasan tentang sikap yang salah, serta memberikan apresiasi positif bila ada siswa yang berbuat baik dengan memberi komentar yang baik dengan tujuan agar semuanya dapat menjadi perhatian seluruh peserta didik
(114) Meminta bantuan orang tua siswa agar mengawasi perilaku anaknya dengan pertemuan langsung atau telepon dan surat
(114) Pembuatan skor pada nilai afeksi (bagan 21):
Mata mata pelajaran yang mengandung unsur afeksi banyak Bobot skor
(1) Perilaku sehari- hari
(2) Penguasaan materi
(3) Ketrampilan 3
1
1
Mata mata pelajaran yang mengandung unsur afeksi sedikit Bobot skor
(1) Perilaku sehari- hari 3

(116) Alternativ pelaksanaan penilaian skor afeksi (bagan 22):
Alternativ I Semua pendidik menilai
Nilai diserahkan kepada Pembina/ guru mata pelajaran
1. Agama
2. Kewarganegaraan
3. Pancasila
4. Seni dan budaya
Alternativ II Semua pendidik menilai
Nilai dimasukkan sendiri ke dalam raport
Sehingga setiap pelajaran mengandung unsur skor
1. Afeksi
2. Kognisi
3. Psikomotor

(117) Sebaiknya alternativ yang dipakai adalah:
Alternativ kedua (II) lebih mudah diterapkan dan lebih baik karena setiap mata pelajaran akan terlihat nilai ketiga aspek yaitu afeksi,kognisi dan psikomotor sehinggan akan terlihat jelas dalam raport benar benar sesuai dengan teori evaluasi dengan demikian perhatian terhadap aspek yang ada dapat mendukung pengembangan manusia Indonesia seutuhnya sesuai dengan nilai nilai Pancasila

TANYA JAWAB:
PENGEMBANGAN AFEKSI DAN PEMBUDAYAAN PANCASILA

A. PERTANYAAN : TENTANG AFEKSI
1. Menurut pendapat saudara mengapa pengembangan afeksi sangat erat kaitannya dengan pembudayaan Pancasila? (Hal 91 : 1)
Jawab :
Pengembangan afeksi itu berkaitan sangat erat dengan pembudayaan Pancasila karena baik masalah yang dihadapi, cara mengembangkannya serta evaluasinya adalah sama.
Pembudayaan Pancasila dapat dikatakan sekaligus pengembangan afeksi (walaupun afeksi yang khas) karena di dalam Pancasila tersebut terdapat nilai-nilai luhur Pancasila dalam kehidupan Bangsa Indonesia, yang mana jika ini dikembangkan maka sama dengan mengembangkan aspek afeksi yang sesuai dengan kepribadian bangsa pada semua generasi bangsa Indonesia.
2. Mengapakah istilah, pengertian serta pentingnya afeksi seolah-olah belum banyak dikenal orang, sehingga mereka tidak menjadikannya sebagai hal yang penting dalam pencapain tujuan pembelajaran? (hal 91 : 2)
Jawab :
Hal ini karena pengembangan afeksi di Indonesia tidak dikembangkan dari sejak, pendidikan di Indonesia tidak banyak mengembangkan afeksi melainkan yang banyak adalah aspek kognisi dan psikomotor secukupnya.
Pengembangan afeksi hanya dijadikan dampak pengiring saja, karena pendidikan di Indonesia hanya menekankan pada aspek kognisi saja dan psikomotor secukunya.
3. Mengapakah pengembangan afeksi terabaikan cukup lama dalam Pendidikan di Indonesia? (Hal 91 : 3)
Jawab :
Pengembangan afeksi terabaikan cukup lama di Indonesia karena pengaruh aliran Rasionalisme dan positivisme, dimana Aliran Rasionalisme ini merupakan aliran yang hanya memperhatikan pengembangan rasio atau intelek saja (kognisi saja). Demikian pula dengan positivisme yang meyakini kebenaran adalah hal-hal yang bisa di amati oleh panca indra, sehingga sesuatu yang tidak bisa diamati oleh panca indra dipandang tidak benar.
Akibatnya : pengembangan afeksi terabaikan karena hal-hal yang menyangkut/ bersifat kejiawaan, seperti etika, nilai-nilai, ketuhanan diangap tidak perlu diajarkan kepada peserta didik. Dengan demikian, materi pelajaran terbatas pada obyek-obyek yang bisa dilihat, diraba, didengar, dikecap, dan bisa dibahu saja.
Tambahan : (halaman 101: 2) pengembangan afeksi ini dianggap damapak pengiring saja, artinya artinya afeksi ini dipandang akan berkembang secara otomatis ketika peserta didik belajar. Kondisi ini membuat orang-orang termasuk pendidik sulit memahami apakah yang dimaksudkan dengan afeksi serta sulit menemuka metode pembelajaran tentang pengembangan efeksi.
4. Apa dampak negatif jika pendidikan khususnya di Indonesia tidak mengindahkan pengembangan aspek afeksi pada peserta didik? (Hal 92 : 1)
Jawab :
Dampak negatif dari tidak mengindahkan/ memperhatikan pengembangan afeksi pada peserta didik dalam pendidikan adalah akan melahirkan kehidupan yang materialistis.
Hal ini sesuai dengan Hasil penelitian (Usman,2001:5), dalam Prof. Made Pidarta, yang menyatakan: ”pendidikan kurang menekankan afeksi, kreativitas, berfikir, sikap membangun dan landasan moralitas, sehingga pendidikan menghasilkan kehidupan yang lebih bersifat materialistis”
Materialistis artinya : faham kebendaan, hanya mementingkan harta benda atau aspek yang nyata saja, sedangkan nilai-nilai moral dan agama dllnya, tidak diindahkan. Kasus seperti: korupsi dllnya sebagai hasil dari kehidupan yang materialistis.
5. Apa alasan kuat yang mendorong kita harus lebih mengutamakan pengembangan afeksi dari pada kognisi pada peserta didik? (Hal 93-93 : 1-2)
Jawab :
Alasan pertama : bahwa hasil pendidikan dengan tanpa pengembangan afeksi atau pendidikan yang hanya bersifat intelektualistis tidak dapat menyelesaikan semua masalah dalam kehidupan manusia, karena nilai-nilai seperti tanggung jawab, kerja sama, toleransi, kedisiplinan dsb merupakan bagian dari afeksi.
Alasan kedua : Hasil-hasil penelitian dan praktek-praktek di lapangan tidak membenarkan kognisi itu memegang peranan utama dalam meningkatkan kemakmuran, kesejahteraan, dan kerja sama dunia.
Hasil penelitian (Subiyanto, dalam Pidarta) menyatakan: bangsa2 yang maju di dunia seperti AS, kanada, Jepang, Jerman, Inggris menyatakan bukan karena penduduknya pintar2 melainkan karena sikap dan perilaku mereka, yang menjadi dasar komitmen, kerja sama, saling menghargai, dan saling membenatu dalam upaya mencapai target yang telah ditentukan.
Alasan ketiga, bertolak dari beberapa perubahan pandangan para ahli berdasarkan hasil penelitian dimana afksi lebih diutamakan dari pada kognisi. Beberapa contoh yang mengacu pada perubahan pandangan ini :
1) Ketika perusahaan-perusahaan besar akan merekrut para karyawan, lebih banyak menanyakan hal-hal yang bertalian dengan afeksi, seperti yang banyak ditanyakan dalam wawancara adalah tanggung-jawab, kerjasama, toleransi, kedisiplinan, dsb. Sedangkan mengenai kognisi hanya dilihat nilai rapor dan ujian akhir, psikomotorik dilatih setelah diterima resmi menjadi karyawan.
2) Beralihnya perhatian para ahli kemanusiaan yang memandang afeksi lebih penting dari pada kognisi, dimana para ahli dalam menilai ukuran kemampuan sesorang, berubah dari yang semula IQ menjadi EQ, hal ini berarti mereka meyakini EQ lebih baik dari IQ dalam mengembangkan kehidupan secara lebih baik
3) Pada waktu ini afeksi lebih penting/ diutamakan dari kognisi, dimana hasil dari beberapa penelitian, yang salah satunya mengatakan IQ (kognisi) memberi kontribusi 20% dalam kesuksesan hidup sisanya ditentukan oleh faktor-faktor lain terutama EQ (afeksi). Beberapa hasil penelitian ini jelas menunjukkan kemamuan kognisi seseorang dapat membantu dirinya dalam meningkatkan kehidupan adalah hanya 1/5 dari seluruh struktur jiwa, sementara afeksi memegang peranan yang cukup menentukan.
6. Jika kita mebandingkan antara aspek kognisi dan afeksi, manakah diantara kedua aspek tersebut yang lebih dominan membantu sesorang dalam meningkatkan kualitas kehidupannya? (Hal 93 : 2)
Jawab :
Dari beberapa hasil penelitian, menunjukkan kemampuan kognisi seseorang dapat membantu dirinya dalam meningkatkan kehidupan hanya 1/5 dari seluruh struktur jiwa, sementara afeksi memegang peranan yang cukup menentukan, dimana IQ (kognisi) memberi kontribusi hanya 20% dalam kesuksesan hidup sisanya ditentukan oleh faktor-faktor lain terutama EQ (afeksi).
Tambahan : selain dari aspek EQ yang di atas, maka saya mengutipkan dari salah satu buku Prof. Made Pidarta,Esesnsi Agam Hindu, dimana di halaman 97 beliau kemukakan bahwa : salah satu konsep yang sejajar dengan IQ dan EQ adalah SQ (berkaitan dengan ajaran agama karena lebih bayak diturunkan dari ajaran-ajaran agama). SQ ini menyangkut hakiki dan kata hati manusia yang paling dalam. Para ahli mengemukkan konsep SQ ini dapat meredam gejolak manusia untuk mengarah pada keterlibatan dan kedamaian manusia. Aspek SQ ini pada dasarnya lebih dekat kepada aspek afeksi menyangkut/ bersifat kejiawaan, seperti keyakinan keada tuhan, etika, nilai-nilai, dimana manusia belajar beretika yang benar, bekerja sama, jujur, lurus, benar, bergaul secara harmonis, dermawan, dll-nya (Pidarta, Hal:100).

B. PERTANYAAN TENTANG : BUDAYA
7. Tolong berikan gambaran secara jelas sehingga dapat kita menarik benang-merah, hubungan antara struktur jiwa manusia menurut Dewantara dengan budaya itu sendiri? (hal 94 : 2)
Jawab :
Hubungan antara struktur jiwa manusia dengan budaya menurut Dewantara :
No Struktur Jiwa Manusia Jadi SJM Hub.dgn.budaya
Dewantara Golkar Ahli Barat
1 Cipta → Pikiran Kognisi KOGNISI Semua hasil dari Pikiran
2 Rasa → Perasaan Afeksi AFEKSI Perasaan
3 Karsa→ Kemauan Afeksi Sda Kemauan
4 - Karya Psikomotor PSIKOMOTOR Karya Manusia
Catatan : Budaya artinya : semua hasil pikiran, perasaan,kemauan, dan karya manusia atau juga dapat disebut semua hasil afeksi, kognisi, psikomotor manusia (Pidarta, 97)
8. Pada zaman Orde Baru, pernah diuayakan dan dilakukan pembudayaan Pancasila melaui penataran P-4, namun hal ini dianggap gagal. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? (Hal 96 : 3)
Jawab :
Hal tersebut terutama terjadi karena kekurang-fahaman terhadap makna budaya itu sendiri, dimana ada saat itu dimaksudkan adalah memasyarakatkan dan membudayakan Pancasila namun, bukanya menamkan nilai-nilai (aspek afeksi)nya, melainkan hanya menanamkan pemahaman isi dan materi Pancasila saja. Akibatnya, tidak ada perkembangan sedikitpun pada para pengikutnya mengenai budaya Pancasila. Mereka tetap saja berperilaku seperti biasanya, walaupun sudah diberikan penataran beberapa kali.
Tambahan : pembudayaan Pancasila ada zaman orba bahkan salah kaprah karena Pancasila dianggap keramat, sehingga yang boleh membahas hanyalah BP-7 pusat saja dan yang boleh menguraikannya hanya BP-7 Pusat saja dan tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun
9. Apa beda antara pengertian budaya dalam makna sangat luas dan agak terbatas? (Hal 99 : 2)
Jawab :
Pengertian budaya yang pertama (sangat luas) mengacu pada semua hasil budi daya manusia, bahkan sampai upaya manusia membuat esawat ruang angkasa, ke luar angkasa, mengurangi pemanasan gelobal, dan lainnya, yang mengacu pada semua hasil pikiran, erasaan, kemauan, dan karya manusia atau dapat juga disebut semua hasil afeksi, kognisi mauun psikomotor manusia.
Sedangkan pengertian kedua (agak terbatas) konotasinya terbatas pada cara hidup dan kehidupan masyarakat pada umumnya. Cara hidup menyangkut bagaimana seseorang menjalani hidup, apakah giat, malas bahkan mengemis, dan kehidupan adalah bagaimana wujud hidup seseorang, apakah enak, sengsara, serta kedudukannya seerti apa. Cara hidup dan kehidupan (yang positif) itu harus mendapatkan kesepakatan bersama. Sehingga budaya dalam pengetian ini menyangkut hal-hal yang positif, bukan yang negatif seperti mencuri, menculik, menteror dll
10. Kita sering mendengar istilah yang sangat erat sekali yakni kebudayaan dengan peradaban, apakah sebanarnya persamaan dan perbedaan antara kebudayaan dengan peradaban?, (Hal 100 : 1)
Jawab :
Pada hakekatnya kebudayaan dan peradaban sama yakni menunjukkan masyarakat yang sudah berkembang, hanya saja kebudayaan : sesuatu yang sudah berkembang bisa individual bisa juga berkelompok sedangkan peradaban : lawan dari primitive (berkonotasi kelompok atau bangsa) artinya kebudayaan suatu kelompok besar atau bangsa yang sudah maju.
Tambahan :
No Budaya/ Kebudayaan Beradab/ Peradaban Persamaan Ket
1 Sudah berkembang Lawan dari primitif berarti tidak primitif (sudah berkembang) Sama-sama sudah berkembang Maknanya sama
2 Sesuatu yang sudah berkembang, bisa individu atau kelompok. Karena itu budaya manusia dapat berbeda-beda. Mencakup masyarakat luas (Kelompok/ bangsa). Atau kebudayaan suatu kelompok besar/ bangsa yang sudah maju Sudah berkembang Kebudayaan bisa indiv./klp. Sedangkan peradaban klp. Masy.

11. Apakah oriantasi dari pengembangan afeksi dan pembudayaan Pancasila bagi Pendidikan di Indonesia? (Hal 100 : 2)
Jawab :
Orientasinya adalah mengembangkan peserta didik agar bisa memiliki budaya Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, baik secara individu maupun kelompok. Jika upaya ini berhasil pada peserta didik kita tang meruakan para penerus bangsa ini dan tidak hanya kepada eserta didik, melainkan setia komponen bangsa Indonesia, maka hasilnya adalah akan dapat menjadikan semua masyarakat/ bangsa Indonesia yang berperadaban Pancasila.
Tambahan : Pengembangan afeksi dalam Pendidikan di Indonesia haruslah sekaligus dengan membudayakan Pancasila, sebab jika nilai-nilai Pancasila sudah dapat dikembangkan dan diperaktikkan/ dilaksanakan dengan baik dalam kehidupan bangsa Indonesia, maka itu berarti Bangsa Indonesia dapat disebut sebagai Bangsa yang berperadaban Pancasila.
12. Mengapa pengembangan AFEKSI jika dikaitkan dengan BUDAYA dan PANCASILA menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya khususnya bagi pendidikan di Indonesia? (Hal 101 : 1)
Jawab :
Karena afeksi itu merupakan bagian dari budaya dan bahkan pendidikan itu sendiri merupakan bagian dari budaya, dan Pancasila itu adalah Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa (falsafah negara).
Demikian pula, Pancasila merupakan Idiologi Bangsa Indonesia, yang berarti merupakan budaya bangsa Indonesia sebab idiologi merupakan bagian dari budaya, sedangkan afeksi itu adalah bagian dari budaya yang meliputi segenap perasaan dan kemauan manusia. Jadi, jika pengembangan afeksi dalam pendidikan di Indonesia dikaitkan lansung dengan pembudayaan Pancasila, maka itu berarti telah mengembangkan generasi bangsa Indonesia yang berperadaban Pancasila.
Tambahan : Karena Pancasila itu merupakan falsafah negara. Artinya, apapun yang dilakukan oleh bangsa Indonesia harus tunduk dan sesuai dengan sila-sila Pancasila. Terutama perilaku anak bangsa ini harus diarahkan agar berbudaya Pancasila, dimulai dari pengembangan afeksi di lembaga-lembaga pendidikan. Sangat keliru jika pendidik jika menganak-tirikan Pancasila, bahkan tidak mau menyinggung sama sekali kata Pancasila.Memajukan Pendidikan Pancasila berarti juga memajukan pengembangan afeksi, sebab pendidikan Pancasila adalah salah satu materi untuk mengembangkan afeksi peserta didik.
C. PERTANYAAN TENTANG PROSES PENGEMBANGAN AFEKSI DAN BUDAYA PANCASILA
13. Apakah saat ini pengembangan efeksi telah diupayakan dalam pendidikan di Indonesia serta bagaimana kenyataanya di lapangan? (Hal 101 : 2)
Jawab :
Saat ini baru saja diupayakan dilakukan, namun demikian para konseptor lebih-lebih para pelaksana di lapangan masih mengalami kebingungan
Kenyataan di lapangan adalah masih banyaknya orang atau pendidik kebingungan dengan perubahan tersebut, sebagaimana yang dikemukakan oleh Samawi (dalam Pidarta : 101), bahwa perubahan mulai dilakukan dengan meninggalkan banyak nilai lama, sementara nilai baru belum banyak dipahami dan dipegang, nilai baru itu seperi kebebasan, pluralisme, HAM, individualisasi dalam pendidikan.
Nilai-nilai baru ini banyak unsur afeksinya. Perubahan hanya dapat dilakukan dengan menempatkan kembali Pancasila sebagai paradigma dalam pembangunan pendidikan nasional. Jadi menurut Samawi, selain Pancasila sebagai dasar negara juga harus dijadikan dasar pengambangan pendidikan.
Tambahan : menurut PPSNP, bahwa kompetensi lulusan peserta didik meliputi pengetahuan, sikap dan keteramilan, sikap artinya afeksi, jadi saat ini telah dikaukan perubahan pandangan menuju pengembangan afeksi, namun demikian masih belum bisa diterakan dengan baik karena orang-orang utamanya pendidik masih bingung dengan perubahan tersebut.
Tentang kenyataan dilaangan, juga yang terjadi adalah pendidik masih kebingungan untuk membuat alat evaluasi afeksi.
14. Mengapa proses pengembangan afeksi dijadikan satu dengan yang cara membudayakan Pancasila? Bagaimanakah jika seandanya dikembangan secara terpisah? (Hal 102 : 2-3)
Jawab :
Proses pengembangan afeksi dijadikan satu dengan cara membudayakan Pancasila agar efisien baik konsep dan praktek di lapangan, jadi dalam melaksanakan pengembangan afeksi dan pembudayaan Pancasila dalam diri para peserta didik di setiapap lembaga pendidikan cuku dijadikan satu saja.
Jika dikembangkan secara terpisah, maka didaklah efesien karena pengembangan afeksi yang antara lain termasuk penananaman sila-sila Pancasila pada peserta didik merupakan pengambangan budaya, sebab afeksi itu sendiri yang termasuk nilai-nilai butan manusia adalah termasuk budaya, sedangkan Pancasila itu juga adalah budaya bangsa Indonesia, jadi dengan mengembangkan afeksi dan membudayakan Pancasila akan menjadi lebih efesien jika digabungkan (dijadikan satu). (Contoh pada halaman 102 : 2)
15. Apakah maksudnya Pancasila dianggap keramat? (Hal 103 : 1-2)
Jawab :
Pancasila dijadikan keramat maksudnya adalah pada zaman orde baru, pancasila hanya boleh disentuh oleh BP-7 Pusat saja, sehingga hanya BP-7 Pusat-lah yang diberikan izin untuk menguraikan Pancasila menjadi butir-butir Pancasila sebayak 45 Butir.
Tambahan, keramat artinya tidak berani disentuh, ini terjadi pada zaman orde baru, tapi sekarang zaman sudah berubah dimana Pancasila tidak perlu dikeramatkan, melainkan orang-orang berkecimpung dalam dunia pendidikan perlu diberikan hal dan kesempatan untuk menganalisis dan menguraikan Pancasila agar dapat diterapkan dalam dunia pendidikan yang ditekuninya.
16. Apakah yang dimaksud dengan hak Otonom dalam kaitannya dengan pembudayaan Pancasila? (103 :2)
Jawab :
Hak otonom ini artinya hak untuk membudayakan Pancasila itu sendiri, yang meliputi al :
1. Hak untuk mensistematiskan cara cara membahas Pancasila
2. Hak untuk memberikan uraian tambahan agar lebih jelas
3. Hak untuk memberi contoh agar pemahaman menjadi lebih mantap
4. Demikian pula, hak untuk memasukkan sila-sila Pancasila pada setiap mata pelajaran yang diajarkan, manakala kesempatan secara wajar ada pada saat itu.
17. Saat ini masih bayak yang belum faham tentang pembudaaan Pancasila itu sendiri, demikian juga tentang afeksi. Lalu bagaimanakah cara kita membudayakan Pancasila tersebut secara sistematis, sehingga kita dapat sekaligus mengembangkan afeksi peserta didik dan tidak akan terjebak dalam pengembangan kognisi yang sifatnya hafalan saja? (Hal 105 : 2-3)
Jawab :
Pembudayaan Pancasila secara sistematis dapat dilakukan dengan 3 tahapan, yang harus dilakukan:
1) Mendeskripsikan sila2 Pancasila oleh para pakar (sila 1 oleh rohaniawan agama, sila 2 oleh ahli HAM & filosof, sila 3 oleh politisi & negarawan, sila 4 oleh politisi & ahli HAM, dan sila 5 oleh ahli ekonomi & budayawan)
2) Dipakai langsung oleh kalangan Perguruan Tinggi karena mereka sudah bisa mencari dan menganalisi secara ktitis materi-materi pelajaran untuk keentingan peserta didiknya.
3) Untuk tingkat sekolah deskripsi perlu dijabarkan oleh ahli pendidikan tentang metodologi pembelajaran yang sesuai untuk tiap jenjang pendidikan, baru kemudian dapat dimanfaatkan oleh para pendidik (guru) di lembaga pendidikan.
Tambahan : selain 3 tahapan yang sistematis di atas, maka dalam proses pembelajaran pendidik Ditekankan pada prilaku sehari2 daripada teori2, seperti: prilaku siswa dalam kehidupan bersama baik di dalam maupun di luar kelas, bertindak demokratis dalam bayak hal di lembaga pendidikan sehingga dengan demikian embudayaan nilai-nilai pancasila dapat dilakukan dengan baik.

18. Bagaimanakah proses pembelajaran untuk mengembangkan afeksi termasuk membudayakan Pancasila tersebut? (Hal : 105 : 2)
Jawab :
Dalam hal proses pembelajaran, pengembanagan afeksi dan pembudayaan Pancasila dapat diuraikan sbb:
No Guru Siswa Unsur Afeksi Budaya Pancasila
1 Sebagai Fasilitator, menyiapkan segala perlemgkapan belajar, ruang kelas, media, alat dlll - - -
2 Dalam PBM, tetap memperhatikan sambil memberikan bimbingan, teguran, maupun sanjungan Aktif berbuat, berbicara, baik individu maupun kelompok, mencari, menganalisis, mensintesis, serta menyimpulkan.
Jadi siswa melaksanakan kewajiban sampai selesai Ditekankan pada prilaku sehari2 daripada teori2, seperti:

- prilaku siswa dalam kehidupan bersama baik di dalam maupun di luar kelas
- bertindak demokratis dalam bayak hal di lembaga pendidikan Menekankan pada nilai-nilai Pancasila seperti dalam unsur afeksi, al :
- nilai kemanusiaan



- nilai demokrasi
- dll

D. PERTANYAAN TENTANG : PELIBATAN MATA-MATA PELAJARAN
19. Dalam praktek pembelajaran selama ini, apa saja kasus yang menjadi masalah di dalam kelas, yang berkaitan dengan pengembangan afeksi? ((Hal 106 : 3)
Jawab :
Beberapa kasus yang menjadi masalah selama ini adalah al :
1) Pendidik atau guru masih mengajar secara terpisah artinya tidak mengkaitkan antara mata pelajaran yang satu dengan yang lainnya
2) Kebiasaan para pendidik membuat TPU maupun TPK masih terkotak-kotak, terpisah antara yang satu dengan yang lainnya, dengan maksud agar mudah diukur. Hal ini sebenarnya bersifat akademis saja, dan pendidik akan merasa berhasil jika tujuan-tujuan yang telah ditetakan telah tercapai.
3) Afeksi hanya dijadikan dampak pengiring saja, hanya dianggap akan muncul dengan sendirinya.
Tambahan : masalah mendasar sebenarnya dalam proses pembelajaran selama ini adalah tidak ditekankan pada aspek efeksi sehingga guna mengatasi hal ini, maka kita harus lebih menekankan pada pengembangan afeksi pada semua mata pelajaran secara terintegrasi. Dengan cara ini berarti kita telah mengaitkan suatu mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya. Demikian pula, tujuan dari proses pendidikan menjadi lebih integratif, tidak terkotak-kota seperti dahulu.
Jadi Cara mengatasinya adalah: Dalam mengembangkan afeksi tidak cukup hanya 4 pelajaran saja tetapi seluruh mata pelajaran dilibatkan dalam pengembangan afeksinya, tiap pelajaran saling mendukung dan dicari keterkaitan antar pelajaran,serta dicari bagian mana yang perlu dikembangkan afeksinya
20. Apa akibat/ dampak dari aspek afeksi yang selama ini dijadikan dampak pengiring saja? (Hal 107:2)
Jawab :
Para lulusannya memang tampak sebagian ahli pada bidang-bidang tertentu dan sebagian terampil, akan tetapi banyak diantara mereka melakukan kecurangan, nepotisme, korupsi, dan mementingkan diri sendiri atau kelompok, akibatnya hati sanubarinya tidak tersentuh dalam dunia pendidikan
21. Apakah pengembangan afeksi cukup hanya pada mata pelajaran Pancasila saja? (Hal 107 : 3)
Jawab :
Tidak cukup, melainkan semua mata pelajaran yang di berikan di lembaga pendidikan harus dilibatkan dalam pengembangan afeksi. Tiap-tiap mata pelajaran harus mendukung pengembangan afeksi, sebab pada hakikatnya tiap-tiap mata pelajaran memiliki kandungan efeksi untuk diinternalisasikan oleh peserta didik. Dengan cara ini berarti kita telah mengaitkan suatu mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya. Demikian pula, tujuan dari proses pendidikan menjadi lebih integratif, tidak terkotak-kota seperti dahulu.
22. Bagaimanakah cara pengembangan afeksi di pendididikan non-formal maupun informal? (Hal 108 : 2-3)
Jawab :
Non-formal: materi pelajaran kejar paket A, B, C. Kecuali dalam bentuk ormas, lembaga belajar dapat dilakukan melalui ceramah2
Informal: pendidikan keluarga, lingkungan masyarakat dapat dilakukan melalui ceramah2 juga.
Tambahan : Saya menyampaikan apa yang dikemukakan Prof. Made dalam artikel beliau yang berjudul Pengembangan Pendidikan Informal. Disana beliau kemukakan bahwa : ada 3 wahana yang berpengaruh besar terhadap perkembangan anak dan remaja, yaitu : 1) tayangan televisi, 2) pergaulan sehari-hari di masyarakat, dan 3) kehidupan dalam keluarga. Dengan demikian pengembangan afeksi dalam lingkungan pendidikan informal ini dapat dilakukan melalui 3 jalan tersebut, dimana antara lain:
1) Para pengelolan televisi harus menyadari bahwa tayangan televisi harus dijadikan wahana pendidikan informal yang paling potensial untuk menididik warga belajar. Pengelola televisi sebaiknya jangan memandang televisi sebagai media bisnis saja. Mereka sebaiknya bekerja sama dengan badan pembina masyarakat dan subbag. Pendidikan Informal Departemen Pendidikan untuk mengadakan kesepakatan tentang hal2 yang bertalian dengan sarana pendidikan ini.
2) Pendidikan melalui pergaulan sehari-hari dalam masyarakat dapat dilakukan dengan mengotimalkan pengaruh-engaruh positif, peran organisasi2 kemasyarakatan diharapkan lebih dominan dalam mengembangan masyarakat sehingga masyarakat benar2 dapat menjadi wahana pengembangan afeksi warga belajar. Beberapa indikator pendukung pembahruan masyarakat yang baik antara lain : - memberdayakan warga masyarakat, melakukan diskusi terbuka, manaruh minat terhadap budaya sendiri dan sekitarnya, menghargai sejarah dan pekerjaan dllnya.
3) Pendidikan dalam keluarga, dapat dilakukan peran orang tua agar mengerti tentang kodrat perkembangan anak manusia, mengerti akan pentingnya pendidikan dalam keluarga, mengerti posisi orang tua sebagai pendidik anak yang strategis dalam keluarga. Hal ini dapat diperoleh dengan memberikan pendidikan keada mereka (orang tua). Demikian pula menurut Lithwood (dalam Pidarta : 168) kultur pendidikan keluarga yang positif dapat dikembangkan melalui pemberian contoh2 dan penjelasan kepada anak, seperti contoh perilaku/ teladan yang baik, maupun contoh di luar yang perlu ditiru dan contoh yang jelek dihindari.
23. Mengapa pada pendidikan non-fromal dan informal juga perlu dilakukan pengembangan afeksi? (Hal 109 : 3)
Jawab :
Karena pengambangan afeksi ini sebagian besar waktunya dilakukan di pendidikan informal, dalam keluarga dan masyarakat, sedangkan di formal dan nonformal selain jam pelajarannya terbatas juga karena waktu yang dialami peserta didik hanya sebentar.
Akan lebih baik jika ketiga jalur pendidikan dikelola bersama sebagai jaringan pendidikan, sehingga terjadi saling mendukung antar jalur pendidikan demi pengembangan peserta didik, khusunya dalam pengembangan afeksi, termasuk pembudayaan Pancasila.
Tambahan : Sebagaimana yang dikemukakan Prof. Made dalam artikel beliau yang berjudul Pengembangan Pendidikan Informal. Disana beliau kemukakan bahwa jika pendidikan informal tidak ditangani dengan baik, sejajar dengan jalur2 pendidikan lainnya, maka dapat dipastikan bahwa sukar dicapai tujuan untuk mencetak individu2 yang mamapu mengelola kehidupan diri sendiri dalam dunia yang cepat sekali berubah ini, untuk hidup secara damai, demokratis, menghargai HAM, dan bisa mengembangkan dirinya sendiri. Jadi sebagaimana saran dari Rachman (dalam Pidarta : 157) perlu untuk dilakukan kerja sama, saling tukar menukar informasi, dan saling mengisi antar jalur pendididkan, terutama agar mental dan moral anak bangsa ini lebih cepat dapat diperbaiki.

E. PERTANYAAN TENTANG : EVALUASI AFEKSI DAN BUDAYA
24. Apa perbedaan antara alat evaluasi kognisi dan afeksi? (Hal 110 : 2-3)
Jawab :
Alat evaluasi yang dipakai untuk keperluan mengukur kognisi adalah tes prestasi belajar dan daftar pertanyaan. Tes ini hanya untuk mengetahui penguasaan materi pelajaran yang berorientasi akademik (kognisi)
Sedangkan alat evaluasi afeksi masih merupakan masalah yang dihadapi para pendidik. Adapun cara untuk mengukur afeksi termasuk juga budaya Pancasila dapat dilakukan dengan tes keperibadian dan mengobservasi perilaku dan afeksi peserta didik. Cara kedua inilah yang disarankan pemerintah melalui SNP, karena cara kedua ini lebih praktis, sebab semua pendidik dapat melakukannya.
Tambahan : Alat evalusi afeksi yang lebih praktis adalah observasi perilaku, dan hal ini dapat dilakukan dalam bentuk skala penilaian sehingga hasil evaluasi bisa berbentuk skor atau angka.
25. Apa Kelebihan dan kekurangan cara evaluasi afeksi yang pertama dan kedua? (Hal 111 : 2-3)
Jawab :
No Cara Evaluasi Kelebihan Kekurangan
1 Tes Keperibadian Sudah baik, karena tingkat validitas dan reliabelitas tes bisa ditentukan Kesulitannya dalam merumuskan tes, karena tes seerti ini hanya bisa di buat oleh ahli psikometri. Para pembuat tes psikologi ini tidak banyak jumlahnya di Indonesia.
Lebih baik dari cara pertama
2 Observasi Perilaku/ Afeksi Lebih praktis, karena semua pendidik dapat melakukannya.
Dapat diterapkan di Indonesia Tidak dapat diketahui secara jelas atau pasti apakah proses observasi yang dilakukan oleh pendidik betul atau bias
Selain itu, bisa terjadi Haloefek, artinya hasilnya dipengaruhi oleh hubungan pendidik dengan peserta didik.

26. Apa saja yang harus dilakukan oleh guru dalam pembelajaran, agar dapat menerapkan evaluasi afeksi dengan baik?
Jawab :
Sebelum menerapkan cara evaluasi kedua (observasi), maka guna memperoleh hasil yang baik maka peserta didik dan orang tua perlu diberikan penjelasan terlebih dahulu tentang proses dan hasil evaluasi ini, peserta didik bisa di dalam kelas oleh pendidik sedangkan orang tua, bisa dalam pertemuan tertentu.
Ada 5 (lima) hal yang perlu dijelaskan antara lain : 1) evaluasi dilakukan oleh semua pendidik, 2) hasil evalusi dapat dihimpun sendiri oleh masing2 pendidik atau dapat diserahkan keada pendidik mapel yang banyak mengandung afeksi, 3) observasi tidak perlu dilakukan secara rinci, cukup yang berperilaku kurang baik dan baik sekali, 4) pedoman obeservasi dalam bentuk skala penilaian, 5) hasil evaluasi dimasukkan ke dalam rapor, sama dengan hasil skor evaluasi kognisi maupun psikomotor.
27. Kapan evaluasi afeksi kepada peserta didik ini dilakukan oleh pendidik dalam pembelajaran? (Hal 113 : 1)
Jawab :
Evaluasi afeksi dapat dilakukan oleh pendidik dalam pembelajaran yakni kapan saja, sebagai evaluasi formatif. Sedangkan khusus untuk 4 mata pelajaran yang banyak mengandung afeksi (agama, PKN, Pancasila dan Seni & Budaya) dapat dilakukan tes sumatif khusus tentang penguasaan materi.
Tambahan : tes formatif dan tes sumatif artinya :
28. Bagaiman cara menghimpun dan memasukkan skor afeksi dalam mata pelajaran? (Hal 115 :1)
Jawab :
Cara menghimpun dan memasukkan skor afeksi ada 2 alternatif, yaitu :
1) menggunakan sistem penilaian afeksi dengan 4 mapel yang banyak mengan dung afeksi, sehingga penghimpunan skor dilakukan dengan cara ¼ pendidik menyerahkan ke agama, ¼ ke Pancasila , ¼ ke PKN, dan ¼ ke seni&budaya, selanjutnya dikompilasikan dan skor-skor tersebut digabungkan dengan skor hasil evaluasi sendiri, sehingga menghasilkan skor tunggal
2) semua pendidik mengobservasi dan mengevaluasi sendiri, dirata-ratakan, kemudian dimasukkan ke raport. Dengan demikiansetiap mata pelajaran mengandung skor kognisi, skor afeksi, dan skor psikomotor.
Aletrnatif 1 Alternatif 2
Semua pendidik menilai
Nilai diserahkan kepada Pembina/ guru mata pelajaran
1. Agama
2. Kewarganegaraan
3. Pancasila
4. Seni dan budaya
Guru-guru ini kemudian mengkolaborasikan skor da menggabungkan dengan skor sendiri, sehingga menjadi skor tunggal Semua pendidik menilai
Nilai dimasukkan sendiri ke dalam raport
Sehingga setiap pelajaran mengandung unsur skor
1. Afeksi
2. Kognisi
3. Psikomotor

Tambahan : disarankan untuk menggunakan alternatif 2, karena proses memasukkannya skor afeksi ke dalam raport lebih mudah dari alternatif 1. Selain itu, akan tampak secara nyata bahwa setiap mata pelajaran akan dinilai dari tiga aspek yakni afeksi, kognisi, dan psikomotor. Aspek penilaian seperti ini terlihat dengan jelas dalam raport dan benar-benar sesuai dengan teori evaluasi. Dengan demikian perhatian terhadap aspek yang ada dapat mendukung pengembangan manusia Indonesia seutuhnya sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

RANGKUMAN PERTANYAAN-PERTANYAAN:
PENGEMBANGAN AFEKSI DAN PEMBUDAYAAN PANCASILA

1. Menurut pendapat saudara mengapa pengembangan afeksi sangat erat kaitannya dengan pembudayaan Pancasila? (Hal 91 : 1)
2. Mengapakah istilah, pengertian serta pentingnya afeksi seolah-olah belum banyak dikenal orang, sehingga mereka tidak menjadikannya sebagai hal yang penting dalam pencapain tujuan pembelajaran? (hal 91 : 2)
3. Mengapakah pengembangan afeksi terabaikan cukup lama dalam Pendidikan di Indonesia? (Hal 91 : 3)
4. Apa dampak negatif jika pendidikan khususnya di Indonesia tidak mengindahkan pengembangan aspek afeksi pada peserta didik? (Hal 92 : 1)
5. Apa alasan kuat yang mendorong kita harus lebih mengutamakan pengembangan afeksi dari pada kognisi pada peserta didik? (Hal 93-93 : 1-2)
6. Jika kita mebandingkan antara aspek kognisi dan afeksi, manakah diantara kedua aspek tersebut yang lebih dominan membantu sesorang dalam meningkatkan kualitas kehidupannya? (Hal 93 : 2)
7. Tolong berikan gambaran secara jelas sehingga dapat kita menarik benang-merah, hubungan antara struktur jiwa manusia menurut Dewantara dengan budaya itu sendiri? (hal 94 : 2)
8. Pada zaman Orde Baru, pernah diuayakan dan dilakukan pembudayaan Pancasila melaui penataran P-4, namun hal ini dianggap gagal. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? (Hal 96 : 3)
9. Apa beda antara pengertian budaya dalam makna sangat luas dan agak terbatas? (Hal 99 : 2)
10. Kita sering mendengar istilah yang sangat erat sekali yakni kebudayaan dengan peradaban, apakah sebanarnya persamaan dan perbedaan antara kebudayaan dengan peradaban?, (Hal 100 : 1)
11. Apakah oriantasi dari pengembangan afeksi dan pembudayaan Pancasila bagi Pendidikan di Indonesia? (Hal 100 : 2)
12. Mengapa pengembangan AFEKSI jika dikaitkan dengan BUDAYA dan PANCASILA menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya khususnya bagi pendidikan di Indonesia? (Hal 101 : 1)
13. Apakah saat ini pengembangan efeksi telah diupayakan dalam pendidikan di Indonesia serta bagaimana kenyataanya di lapangan? (Hal 101 : 2)
14. Mengapa proses pengembangan afeksi dijadikan satu dengan yang cara membudayakan Pancasila? Bagaimanakah jika seandanya dikembangan secara terpisah? (Hal 102 : 2-3)
15. Apakah maksudnya Pancasila dianggap keramat? (Hal 103 : 1-2)
16. Apakah yang dimaksud dengan hak Otonom dalam kaitannya dengan pembudayaan Pancasila? (103 :2)
17. Saat ini masih bayak yang belum faham tentang pembudaaan Pancasila itu sendiri, demikian juga tentang afeksi. Lalu bagaimanakah cara kita membudayakan Pancasila tersebut secara sistematis, sehingga kita dapat sekaligus mengembangkan afeksi peserta didik dan tidak akan terjebak dalam pengembangan kognisi yang sifatnya hafalan saja? (Hal 105 : 2-3)
18. Bagaimanakah proses pembelajaran untuk mengembangkan afeksi termasuk membudayakan Pancasila tersebut? (Hal : 105 : 2)
19. Dalam praktek pembelajaran selama ini, apa saja kasus yang menjadi masalah di dalam kelas, yang berkaitan dengan pengembangan afeksi? (Hal 106 : 3)
20. Apa akibat/ dampak dari aspek afeksi yang selama ini dijadikan dampak pengiring saja? (Hal 107:2)
21. Apakah pengembangan afeksi cukup hanya pada mata pelajaran Pancasila saja? (Hal 107 : 3)
22. Bagaimanakah cara pengembangan afeksi di pendididikan non-formal maupun informal? (Hal 108 : 2-3)
23. Mengapa pada pendidikan non-fromal dan informal juga perlu dilakukan pengembangan afeksi? (Hal 109:3)
24. Apa perbedaan antara alat evaluasi kognisi dan afeksi? (Hal 110 : 2-3)
25. Apa Kelebihan dan kekurangan cara evaluasi afeksi yang pertama dan kedua? (Hal 111 : 2-3)
26. Apa saja yang harus dilakukan oleh guru dalam pembelajaran, agar dapat menerapkan evaluasi afeksi dengan baik? (Hal 112 : 2-3)
27. Kapan evaluasi afeksi kepada peserta didik ini dilakukan oleh pendidik dalam pembelajaran? (Hal 113 : 1)
28. Bagaiman cara menghimpun dan memasukkan skor afeksi dalam mata pelajaran? (Hal 115 :1)

MASALAH-MASALAH ANAK PADA USIA REMAJA DAN CARA-CARA MENGATASINYA

MASALAH-MASALAH ANAK PADA USIA REMAJA DAN CARA-CARA MENGATASINYA
Oleh: Mujtahidin, S.Pd.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masa remaja adalah masa yang paling unik. Perkembangan pada masa remaja umumnya berlangsung antara umur 12 dan 21 tahun, dengan pembagian: (1) usia 12-15 tahun; masa remaja awal (peural), (2) usia 15-18 tahun: masa remaja pertengahan (pubertas), dan (3) usia 18-21 tahun masa remaja akhir (adoleson) (Monk, 2006: 262). Menurut Willis (2008, 20-21) pada masa ini telah terjadinya kematangan organ seksual yang ditandai dengan matangan kelenjar endrogin yang mengeluarkan zat-zat yang disebut hormon yang dapat memacu adanya ransangan-ransangan tertentu (ciri-ciri primer). Selain itu, pada masa ini telah terjadi perubahan pisik seperti bentuk tubuh, baik pada laki-laki maupun perempuan (ciri-ciri sekunder), serta perubahan tingkah laku sebagai akibat dari perubahan bentuk pisik maupun kematangan organ-organ seksualnya (ciri-ciri tersier).
Dalam psikologi perkembangan keperibadian seseorang, remaja mempunyai arti yang khusus, namun begitu masa remaja mempunyai tempat yang tidak jelas dalam rangkaian proses perkembangan seseorang. Anak remaja tidak termasuk golongan anak, tetapi tidak pula termasuk golongan dewasa atau golongan tua. Remaja ada diantara dan orang dewasa (Monks, 2006: 258-259). Masa ini kemudian menjadi suatu tahapan kehidupan yang bersifat peralihan dan tidak mantap, sehingga rawan dengan pengaruh-pengaruh negatif seperti narkoba, kriminal, maupun kejahatan seks dan lain sebagainya. Namun di sisi lain, masa remaja adalah masa yang sangat baik untuk mengembangkan segala potensi positif yang mereka miliki seperti bakat, minat, maupun kemampuan-kemampuan lainnya, serta mengembangkan nilai-nilai hidup yang diyakininya.
Pertarungan antara kemungkinan masa remaja terjebak dalam pengeruh-pengaruh negatif dengan kemungkinan dapat dikembangkannya petensi-potensi positif ini menjadi suatu hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Hal ini karena dapat menyelamatkan generasi dari kehinaan dan kemerosotan akhlak (degradasi moral) menuju rekonstruksi moral dan budaya bangsa.
Masalah-masalah pada anak usia remaja seringkali terjadi sebagai akibat dari konflik antara anak (remaja) dengan orang tuanya maupun dengan lingkungan sosialnya. Dalam hal ini, peran orang tua dan sekolah sangat penting bagi pembentukan karakter dan mental positif para remaja. Hal ini disebabkan pada masa remaja anak belum siap untuk terjun ke masyarakat sebagai orang yang dikatakan sudah dewasa (mandiri) sehingga sangat membutuhkan bimbingan baik oleh orang tua maupun sekolah (pendidik/guru). Guna mencapai hal tersebut, maka salah satu alternatif yang dapat dilakukan sejak dini oleh orang tua maupun pendidik (guru) adalah mengetahui masalah-masalah apa saja yang terjadi pada anak usia remaja serta memahami bagaimanakah cara-cara yang dapat dilakukan sebagai upaya untuk mengatasi masalah-masalah tersebut.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah:
1. Masalah-masalah apa saja yang terjadi pada anak usia remaja?
2. Bagaimanakah cara-cara mengatasi masalah-masalah yang terjadi pada anak usia remaja?

C. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penulisan makalah ini adalah:
a. untuk mengetahui masalah-masalah apa saja yang terjadi pada anak usia remaja
b. untuk mengatahui bagaimanakah cara mengatasi masalah-masalah yang terjadi pada anak usia remaja
2. Manfaat
Hasil penulisan makalah ini diharapkan nantinya dapat bermanfaat untuk:
a. Orang tua, yakni diharapkan mampu menciptakan suasana kehidupan yang harmonis di dalam keluarga, bersikap demokratis terhadap anak, mengarahkan serta membekali dengan landasan moral dan spritual yang kokoh untuk mengembangkan semua potensi yang dimilikinya
b. Pendidik (guru), yakni diharapkan mampu menciptakan pembelajaran serta mengambangkan pendidikan yang kondusif dan positif, dimana semua potensi peserta didik dapat dikembangkan dengan maksimal
c. Masyarakat dan Pemerintah, yakni diharapkan dapat lebih memperhatikan pembinaan dan pengembangan moral generasi muda menuju manusia Indonesia seutuhnya, baik melalui lembaga pendidikan formal, pendidikan non formal, maupun pendidikan informal.
BAB II
PEMBAHASAN

C. Masalah-masalah Yang Terjadi Pada Anak Usia Remaja
1. Masalah penyesuaian diri
Permasalahan remaja yang banyak kita lihat sesungguhnya berangkat dari masalah sulitnya penyesuaian diri anak pada usia remaja. Pada usia remaja seorang anak tidak mau lagi dianggap sebagai anak-anak, namun ia juga belum siap untuk dianggap (melaksanakan perannya) sebagai orang dewasa. Penyusuaian diri artinya kemampuan seseorang untuk hidup dan bergaul secara wajar terhadap lingkungannya, sehingga ia merasa puas terhadap dirinya dan lingkungan (Willis, 2008: 55). Kegagalan dalam penyesuaian diri pada remaja dapat disebabkan faktor-faktor pengalaman terdahulu yang mengalami banyak rintangan dan kegagalan. Faktor-faktor tersebut dipengaruhi oleh lingkungan yang ada di sekitarnya, baik di dalam keluarga, sekolah, maupun di dalam masyarakat.
a. Penyesuaian diri di dalam keluarga
Penyesuaian diri di dalam keluarga yang terpenting adalah penyesuaian diri dengan sikap orang tua. Dalam kaitannya dengan hal ini, Willis (2008: 56) menyebutkan bahwa ada 3 (tiga) macam tipe/gaya (sikap) orang tua dalam mendidik anak-anaknya yaitu: (1) orang tua yang otoriter (berkuasa), (2) orang tua yang lunak, (3) orang tua yang demokratis.
Orang tua yang otoriter cendrung merasa berkuasa di rumah, sehingga segala tindakan terlihat keras, kata-katanya terhadap anak tajam dan menyakitkan hati, banyak memerintah, kurang mendengarkan keluhan dan usulan anak-anaknya. Hal ini kemudian yang melahirkan sikap anak terutama remaja yang dapat memicu terjadinya kenakalan remaja, seperti sikap menetang dan lain-lainnya. Selain itu, rasa takut yang disebabkan oleh sikap orang tua yang otoriter ini membuat anak tidak berkembang daya kreatifnya, menjadi orang yang penakut, apatis, dan penggugup.
Demikian pula sebaliknya, sikap orang tua yang terlalu lunak memberikan kebebasan terhadap anak tanpa adanya norma-norma yang harus ditakuti oleh mereka dapat menimbulkan perilaku tidak senonoh pada anak-anaknya, misalnya agresif, suka menipiu, berbohong, dan lain sebagainya. Sedangkan sikap orang tua yang demokratis memberikan kesempatan kepada setiap anak-anaknya untuk menyatakan pendapat, keluhan maupun kegelisahannya. Sikap orang tua seperti inilah yang dapat mendidik anak untuk bersikap mandiri, memiliki sikap tegas, mudah bergaul dan berorientasi pada prestasi.
b. Penyesuian diri di Sekolah
Penyesuaian diri remaja di sekolah erat kaitannya dengan penyesuian diri dengan guru, teman maupun lingkungan sekolah. Kegagalan remaja dalam menyesuaikan diri di sekolah sering berujung pada berbagai bentuk, antara lain sebagai berikut :
1) Perilaku Bermasalah (problem behavior).
Perilaku bermasalah di sekolah dapat berupa perilaku malu yang berlebihan, ingin menjadi lebih hebat dari teman-temannya, dan lain sebagainya. Perilaku ini seperti hipoaktivisme, anorexia nervosa, maupun bulimia. Demikian pula, rasa malu dalam mengikuti berbagai aktvitas yang digelar sekolah misalnya, termasuk dalam kategori perilaku bermasalah yang menyebabkan seorang remaja mengalami kekurangan pengalaman. Dampak perilaku bermasalah yang dilakukan remaja akan menghambat dirinya dalam proses sosialisasinya dengan remaja lain, dengan guru, dan dengan masyarakat.
2) Perilaku menyimpang (behaviour disorder)
Perilaku menyimpang pada remaja merupakan perilaku yang kacau yang menyebabkan seorang remaja kelihatan gugup dan perilakunya tidak terkontrol. Seorang remaja mengalami hal ini jika ia tidak tenang dan menyebabkan hilangnya konsentrasi diri. Perilaku menyimpang pada remaja akan mengakibatkan munculnya tindakan tidak terkontrol yang mengarah pada tindakan kejahatan. Penyebab behaviour disorder lebih banyak karena persoalan psikologis yang selalu menghantui dirinya.
3) Penyesuaian diri yang salah (behaviour maladjustment)
Perilaku yang tidak sesuai yang dilakukan remaja biasanya didorong oleh keinginan mencari jalan pintas dalam menyelesaikan sesuatu tanpa mendefinisikan secara cermat akibatnya. Perilaku menyontek, bolos, dan melangar peraturan sekolah merupakan contoh penyesuaian diri yang salah pada remaja di sekolah.

4) Perilaku tidak dapat membedakan benar-salah (conduct disorder)
Kecenderungan pada sebagian remaja adalah tidak mampu membedakan antara perilaku benar dan salah. Wujud dari conduct disorder adalah munculnya cara pikir dan perilaku yang kacau dan sering menyimpang dari aturan yang berlaku di sekolah. Penyebabnya, karena sejak kecil orangtua tidak bisa membedakan perilaku yang benar dan salah pada anak. Seorang remaja di sekolah dikategorikan dalam conduct disorder apabila ia memunculkan perilaku anti-sosial seperti melawan aturan, tidak sopan terhadap guru, dan mempermainkan temannya .
c. Penyesuaian diri di masyarakat
Penyesuaian diri di dalam masyarakat berkaitan dengan hubungan anak dengan lingkungan sosialnya, karena sebagian besar waktu anak dihabiskan dilingkungan masyarakat. Kesulitan penyesuaian diri ini misalnya dipengaruhi oleh film-film, acara TV, majalah, pergaulan, kekerasan dan lain-lainnya. Jika penyesuaian diri di dalam masyarakat ini cendrung mengarah ke hal-hal yang negatif, maka masalah yang dihadapi remaja akan menjadi sangat kompleks, karena pada masa ini remaja berada pada masa trasisi yang sulit sehingga jika tidak diarahkan maka dapat terjerumus pada degradasi moral.
2. Masalah seksual pada remaja
Pada masa remaja masalah seksual merupakan masalah yang sering terjadi mulai dari hubungan dengan lawan jenis (pacaran) sampai pada tindakan amoral seperti pemerkosaan maupun perzinahan. Masalah seksual ini terjadi karena pada masa remaja seseorang telah menunjukkan kematangan hormon seksual, yang ditandai dengan datangnya masa pubertas. Kematangan hormon ini mendorong anak remaja pada umumnya untuk memenuhi hasrat seksualnya, sehingga jika tidak ada penyaluran yang sesuai (menikah) maka harus dilakukan usaha untuk memberi pengertian dan pengetahuan mengenai hal tersebut.
Menurut Sarwono (2004: 153) faktor-faktor yang berperan dalam munculnya permasalahan seksual pada remaja adalah sebagai berikut:
a Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual remaja. Peningkatan hormon ini menyebabkan remaja membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku tertentu
b Penyaluran tersebut tidak dapat segera dilakukan karena adanya penundaan usia perkawinan, baik secara hukum oleh karena adanya undang-undang tentang perkawinan, maupun karena norma sosial yang semakin lama semakin menuntut persyaratan yang terus meningkat untuk perkawinan (pendidikan, pekerjaan, persiapan mental dan lain-lain)
c Norma-norma agama yang berlaku, dimana seseorang dilarang untuk melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Untuk remaja yang tidak dapat menahan diri memiliki kecenderungan untuk melanggar hal-hal tersebut
d Kecenderungan pelanggaran makin meningkat karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan melalui media masa yang dengan teknologi yang canggih (cth: VCD, buku stensilan, photo, majalah, internet, dan lain-lain) menjadi tidak terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa dilihat atau didengar dari media massa, karena pada umumnya mereka belum pernah mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orangtuanya.
e Orangtua sendiri, baik karena ketidaktahuannya maupun karena sikapnya yang masih mentabukan pembicaraan mengenai seks dengan anak, menjadikan mereka tidak terbuka pada anak, bahkan cenderung membuat jarak dengan anak dalam masalah seksual.

3. Masalah psikopatologi (gangguan kejiwaan/ kelainan)
Psikopatologi artinya beberapa gangguan kejiwaan pada remaja (psiko = jiwa, patologi = kelainan, gangguan). Jenis-jenis gangguan kejiwaan yang sering terjadi pada remaja menurut Jensen (dalam Sarwono, 2007: 222) antara lain adalah:
a. Mental stres yang dapat menimbulkan hiperaktivitas dan depresi
Hiperaktivitas adalah aktivitas yang terlalu berlebihan, kebalikannya adalah hivoaktivitas (aktivitas yang kurang). Jika gangguan yang berlangsung terus menerus (efektif), maka hiperaktivitas maupun hipoaktivitas dapat menyebabkan depresi yang lebih berat dari sebelumnya.
b. Neurosis
Neorosis adalah perilaku yang berlebihan, yang disebabkan adanya gejolak dan konflik yang terdapat pada diri sendiri. Beberapa gejala neorosis yang bisa terjadi pada diri remaja antara lain : (1) phobia yakni ketakutan yang luar biasa tanpa alasan yang jelas kepada hal-hal yang lazimnya tidak menimbulkan ketakutan, dan (2) Obsesi-kompulasi yakni adanya pikiran/ perasaan/ keyakinan yang sangat kuat tentang suatu hal yang diikuti dengan kecenderungan untuk terus-menerus melakukan hal tersebut, walaupun dirinya sendiri menyadari bahwa hal tersebut tidak masuk akal.
c. Reaksi Konversi
Reaksi konversi adalah kecemasan yang dialihkan kepada tubuh, misalnya berkeringat dingin atau sakit perut pada saat menghadapi ujian. Jika gangguan ini serius, maka gejala-gejala tersebut bahkan bisa menetap dan selalu dialami jika anak sedang merasakan kecemasan.
d. Skizofrenia
Skizofrenia adalah gangguan kejiwaan yang berupa kemunduran atau terpecah. Dalam hal ini ditandai dengan cara berfikir yang tidak teratur, berhalusinasi, tidak mampu mengendalikan gagasan, maupun tidak mampu melakukan hubungan sosial karena tingkah lakunya sudah tidak sesuai dengan kenyataan.
e. Anorexia Nervosa
Anoreksia adalah aktivitas untuk menguruskan badan dengan melakukan pembatasan makan secara sengaja dan melalui kontrol yang ketat. Gangguan jiwa ini adalah khas remaja di bawah usia 25 tahun dan biasanya terjadi ada remaja putri. Penderita anorexia sadar bahwa mereka merasa lapar namun takut untuk memenuhi kebutuhan makan mereka karena bisa berakibat naiknya berat badan. Persepsi mereka terhadap rasa kenyang terganggu sehingga pada saat mereka mengkonsumsi sejumlah makanan dalam porsi kecil sekalipun, mereka akan segera merasa kenyang atau bahkan mual.
f. Bulimia
Pada dasarnya, tujuan akhir dari gejala bulimia dan anorexia adalah sama, yaitu ingin mempertahankan bentuk tubuhnya selangsing (sekurus) mungkin, namun cara mereka yang berbeda. Penderita bulimia cenderung senang mengkonsumsi makanan yang mereka sukai. Mereka makan berlebihan untuk memuasakan keinginan mereka namun selanjutnya mereka memuntahkannya kembali hingga tidak ada makanan yang tersisa. Dengan demikian mereka terhindar jadi gemuk melainkan tetap menjadi kurus tanpa perlu menahan keinginan mereka untuk makan.


g. Bunuh Diri
Bunuh diri juga merupakan masalah yang sering terjadi pada remaja. Ketika mereka siudah mengalami jalan buntu dalam masalah yang dihadapinya, dan satu-satunya jalan adalah bunuh diri. Gejala ini dapat disebabkan oleh hubungannya dengan lawan jenis, orang tua, sekolah, maupun karena yang diinginkannya tidak bisa tercapai, serta perasaan malu atau tertekan (depresi) yang dialaminya.

4. Perilaku menyimpang pada remaja
a. Kenakalan remaja
Kenakalan remaja artinya perilaku remaja yang menyimpang dari hukum atau melanggar hukum (Sarwono, 2007: 209). Sedangkan dalam Inpres N0.6/1971 tentang Pola Penanggulangan Kenakalan Remaja (dikutip dalam Willis, 2008: 89), disebutkan bahwa kenakalan remaja ialah kelainan tingkah laku, perbuatan atau tindakan remaja yang bersifat asosial bahkan anti-sosial yang melanggar norma-norma sosial, agama serta ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Menurut Cavan (dalam Willis, 2008: 88) kenakalan remaja disebabkan kegagalan mereka dalam memperoleh pergaulan dari masyarakat tempat mereka tinggal.
Jensen (dalam Sarwono, 2007: 209) membagi kenakalan remaja menjadi 4 (empat) jenis, yaitu:
1) Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain, seperti: perkelahian, pemerkosaan, perampokan, pembunuhan, dll.
2) Kenakalan yang menimbulkan korban materi, seperti: perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan, dll.
3) Kenakalan sosial yang menimbulkan korban diihak orang lain, seperti pelacuran, penyalahgunaan obat, dll.
4) Kenakalan yang melawan status, seperti: membolos, minggat dari rumah dll.
b. Perkelahian remaja sekolah (tawuran)
Menurut Tambunan (2001:1) perkelahian remaja sekolah (tawuran) dapat digolongkan ke dalam 2 (dua) kondisi penyebab terjadinya, yaitu (1) situasional dan (2) sistematik. Pada kondisi situasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang mengharuskan mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya muncul akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat. Sedangkan pada kondisi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu berada di dalam suatu organisasi tertentu (geng). Di sini ada aturan, norma dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti angotanya, termasuk berkelahi. Sebagai anggota, mereka bangga kalau dapat melakukan apa yang diharapkan oleh kelompoknya.
Selanjutnya Tambunan (2001:1) menjelaskan bahwa terjadinya tawuran sedikitnya disebabkan oleh 4 (empat) faktor psikologis, yakni sebagai berikut:
1) Faktor internal
Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang/ pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah.
2) Faktor keluarga
Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan akan berdampak pada anak ketika menginjak remaja, dimana mereka menganggap kekerasan adalah bagian dari dirinya. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirinya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.
3) Faktor sekolah
Lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya.
4) Faktor lingkungan
Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian, misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya pencandu narkoba).
c. Penyalahgunaan NAPZA
NAPZA (Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya) yaitu sejumlah zat-zat tertentu yang mempengaruhi sistem saraf dan menyebabkan ketergantungan (adiksi). Selain istilah NAPZA sering juga kita dengar istilah Narkotika maupun Narkoba, namun dari maraknya berbagai zat yang disalahgunakan, penggunaan istilah narkotika saja kurang tepat karena tidak mencakup alkohol, nikotin dan kurang menegaskan sejumlah zat yang banyak dipakai yaitu zat psikotropika (Tambunan, 2001:1).
Beberapa jenis NAPZA yang populer digunakan di Indonesia seperti (1) Putau, tergolong heroin yang sangat membuat ketergantungan, berbentuk bubuk, (2) Ganja, berisi zat kimia delta-9-tetra hidrokanbinol, berbentuk tanaman yang dikeringkan, (3) Shabu-shabu, kristal yang berisi methamphetamine, (4) Ekstasi, methylendioxy methamphetamine dalam bentuk tablet atau kapsul, (5) Pil BK, megadon dan obat-obat depresan sejenis, dan (6) sejumlah jenis-jenis narkoba lainnya seperti Marijuana, Cocaine, Methamphetamne, Heroin.
Pada awalnya, zat-zat ini digunakan untuk tujuan medis seperti penghilang rasa sakit. Namun apabila zat-zat ini digunakan secara tetap, bukan untuk tujuan medis atau yang digunakan tanpa mengikuti dosis yang seharusnya, serta dapat menimbulkan kerusakan fisik, mental dan sikap hidup masyarakat, maka disebut penyalahgunaan NAPZA. Salah satu sifat yang menyertai penyalahgunaan NAPZA adalah ketergantungan (addiction). Ketergantungan terhadap NAPZA ini antara lain memiliki ciri-ciri antara lain:
1) Keinginan yang tak tertahankan untuk mengkonsumsi salah satu atau lebih zat yang tergolong NAPZA.
2) Kecenderungan untuk menambah dosis sejalan dengan batas toleransi tubuh yang meningkat.
3) Ketergantungan psikis, yaitu apabila penggunaan NAPZA dihentikan akan menimbulkan kecemasan, depresi dan gejala psikis lain.
4) Ketergantungan fisik, yaitu apabila pemakaian dihentikan akan menimbulkan gejala fisik putus zat (lemah fisik).
5. Masalah yang berkaitan dengan perubahan tingkah laku pada usia remaja
Soesilowindradini (2000: 132-219) dalam buku Psikologi Perkembangan Remaja mengemukakan bahwa, pada masa remaja yang ditandai dengan mulainya masa pubertas, terjadi beberapa perubahan perilaku pada anak usia remaja yang sering dilihat sebagai suatu masalah pada tahap perkembangannya. Perubahan tingkah laku dimaksud antara lain sebagai berikut:
a. Pada masa pubertas (usia 12-15 tahun)
Pengaruh kedatangan masa pubertas pada remaja awal melahirkan beberapa perubahan tingkah laku remaja seperti: keinginan untuk menyendiri, keseganan untuk bekerja, merasa bosan, bersikap tidak tenang, antagonisme sosial (menentang kehendak orang lain), menentang orang-orang yang lebih berkuasa dari padanya, antagonisme seks (pertentangan antara laki-laki dan perempuan), emosionalitas (cendrung cepat marah), kurang percaya pada diri sendiri, mengalami rasa malu yang berlebihan, senang melamun dan lain sebagainya.
b Pada masa remaja awal (usia 15-18 tahun)
Pada usia ini, remaja berada pada situasi krisis yang dialaminya, yang ditandai dengan terjadinya perubahan tingkah seperti: merasa dalam status yang tidak menentu, cendrung emosional (seperti marah, takut, malu, cemas, iri hati, kasih sayang, gembira, rasa ingin tahu, sedih, dan lain-lainnya), keadaan yang emosi maupun isik tidak stabil (labil), mempunyai banyak masalah, mengidam-idamkan bentuk jasmaniyah yang sempurna, menghendaki kebebasan, bingung dalam memahami nilai-nilai, suka terhadap lawan jenis, ingin selalu berhasil, selalu kritis terhadap sesuatu. Selain itu juga, dewasa ini banyak pula para remaja yang memiliki kecendrungan suka dengan sesama jenisnya.
c. Pada masa remaja akhir (usia 17-21 tahun)
Pada usia ini, remaja sudah cendrung menjadi mandiri dan sedikit demi sedikit telah mampu mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya, seperti: kestabilan sudah mulai bertambah, sudah lebih matang, memiliki ketenangan emosional, lebih realistis dan sebagainya.

D. Cara-cara Mengatasi Masalah-masalah Pada Anak Usia Remaja
1. Membantu para remaja dalam menyesuaikan diri
a. Sikap demokratis orang tua dalam keluarga
Penyesuaian diri di dalam keluarga sangat ditentukan oleh sikap demokratis orang tua. Demikian pula di sekolah, anak pada usia remaja sangat membutuhkan bimbingan dan pengarahan dari pendidik (guru) dalam suasana belajar yang demokratis dan positif.
Baumrind (dalam Nur, 2004: 39) menyatakan hasil penelitiannya bahwa orang tua yang otoritatif (istilah untuk menyebut sikap orang tua yang demokratis) adalah orang tua yang paling efektif dalam mendidik anak, karena orang tua yang deokratis cendrung memilki anak-anak yang mandiri, tegas, mudah bergaul dan lain-lainnya. Beberapa tips yang dapat dilakukan oleh orang tua, antara lain sebagai berikut (Setiono, 2002:1):
1) Mulailah menganggap anak sebagai teman dan akuilah ia sebagai orang yang akan berangkat dewasa. Jangan memperlakukan anak (remaja) seperti anak kecil, meskipun mereka sudah berusaha menunjukkan bahwa keberadaan mereka sebagai calon orang dewasa
2) Hargai perbedaan pendapat dan ajaklah berdiskusi secara terbuka. Anak (remaja) akan sangat menghargai dan menghormati orang tua bijak yang bisa dijadikan teman
3) Tetaplah tegas pada nilai yang Anda anut walaupun anak remaja anda mungkin memiliki pendapat dan nilai yang berbeda. Biarkan nilai Anda menjadi jangkar yang kokoh di mana anak remaja anda bisa berpegang kembali setelah mereka lelah membedakan dan mempertanyakan alternatif nilai yang lain.
4) Jangan malu atau takut berbagi masa remaja Anda sendiri. Biarkan mereka mendengar dan belajar apa yang mendasari perkembangan diri Anda dari pengalaman Anda
5) Mengertilah bahwa masa remaja untuk anak anda adalah masa yang sulit. Perubahan mood (suasana hati) sering terjadi dalam durasi waktu yang pendek, jadi anda tidak perlu panik jika anak remaja anda yang biasanya riang tiba-tiba bisa murung dan menangis lalu tak lama kemudian kembali riang tanpa sebab yang jelas
6) Jangan terkejut jika anak anda bereksperimen dengan banyak hal, misalnya mencat rambutnya menjadi biru atau ungu, memakai pakaian serba sobek, selama hal-hal itu tidak membahayakan, mereka layak mencoba masuk ke dalam dunia yang berbeda dengan dunia mereka saat ini
7) Kenali teman-teman anak remaja Anda, bertemanlah dengan mereka jika itu memungkinkan, namun waspadalah jika anak Anda sangat tertutup dengan dunia remajanya, mungkin ia tidak/ kurang mempercayai anda atau ada yang disembunyikannya.
b. Membangun saling ketergantungan positif dalam pembelajaran di sekolah
Membangun saling kergantungan positif antara pendidik dengan peserta didik maupun antara peserta didik dengan teman-temannya membutuhkan suasana belajar yang aktif, kreatif, efektif dan menyenagkan, serta memberikan tauladan yang baik dari setiap pendidik (guru). Demikian pula, dalam hal penanaman disiplin belajar, peserta didik dapat diberikan hukuman (punisment) pada anak saat ia memunculkan perilaku yang salah dan memberikan pujian atau hadiah (reward) saat ia memunculkan perilaku yang baik atau benar. Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain (Rutbah, 2008:19):
1) Agar anak lebih rasional, dampingi mereka dengan dialog dan memberikan wawasan pengetahuan dan sosial, agar mereka mempunyai bayak alternatif-alternatif pilihan, sehingga proses kedewasaan berfikir menjadi lebih cermat
2) Mendidik secara positif, tidak menghukum, tetapi menyesuaikan (mengurangi) hak istimewa anak bila perlu. Setelah remaja terbukti dapat dipercaya hendaknya diberi kepercayaan lebih besar
3) Sempatkan berkomunikasi dengan mereka sekaligus memberikan nasehat bila perlu
4) Memberi tauladan dari semua sikap, bahasa, dan perilaku
c. Mengembangkan pendidikan informal di masyarakat
Penyesuaian diri remaja di masyarakat dapat dibina melalui peningkatan peran pendidikan informal, seperti pendidikan melalui tayangan televisi dan pendidikan melalui organisasi kemasyarakatan seperti karang taruna. Selain itu juga dapat dilakukan dengan penaman minat dan pengembangan budaya tempat mereka tinggal, mengadakan diskusi terbuka, ceramah-ceramah, dan lain sebagainya .
2. Mengatasi masalah seksual melalui pendidikan seks
Mengatasi masalah seksual para remaja dapat dikakukan dengan memberikan pendidikan seks bagi remaja bahkan sejak dini. Pendidikan seks dilakukan untuk menolong remaja dalam menghadapi masalah hidup yang bersumber pada dorongan seksual. Pendidikan seks ini ditujukan untuk menerangkan segala hal yang berhubungan dengan seks dan seksualitas dalam bentuk yang wajar. Namun dalam hal ini, pendidikan seks haruslah dilengkapi dengan pendidikan etika, pendidikan tentang hubungan antar sesama manusia baik dalam hubungan keluarga maupun di dalam masyarakat.
Tujuan dari pendidikan seks adalah bukan untuk menimbulkan rasa ingin tahu dan ingin mencoba hubungan seksual antara remaja, tetapi untuk menyiapkan agar remaja tahu tentang seksualitas dan akibat-akibatnya bila dilakukan tanpa mematuhi aturan hukum, agama dan adat istiadat serta kesiapan mental dan material seseorang. Selain itu pendidikan seksual juga bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan mendidik anak agar berperilaku yang baik dalam hal seksual, sesuai dengan norma agama, sosial dan kesusilaan. Jadi tujuan pendidikan seksual adalah untuk membentuk suatu sikap emosional yang sehat terhadap masalah seksual dan membimbing anak dan remaja ke arah hidup dewasa yang sehat dan bertanggung jawab terhadap kehidupan seksualnya
Mu'tadin (2002:1) menjabarkan tujuan pendidikan dengan lebih lengkap sebagai berikut:
a Memberikan pengertian yang memadai mengenai perubahan fisik, mental dan proses kematangan emosional yang berkaitan dengan masalah seksual pada remaja.
b Mengurangi ketakutan dan kecemasan sehubungan dengan perkembangan dan penyesuaian seksual (peran, tuntutan dan tanggungjawab)
c Membentuk sikap dan memberikan pengertian terhadap seks dalam semua manifestasi yang bervariasi
d Memberikan pengertian bahwa hubungan antara manusia dapat membawa kepuasan pada kedua individu dan kehidupan keluarga.
e Memberikan pengertian mengenai kebutuhan nilai moral yang esensial untuk memberikan dasar yang rasional dalam membuat keputusan berhubungan dengan perilaku seksual.
f Memberikan pengetahuan tentang kesalahan dan penyimpangan seksual agar individu dapat menjaga diri dan melawan eksploitasi yang dapat mengganggu kesehatan fisik dan mentalnya.
g Untuk mengurangi prostitusi, ketakutan terhadap seksual yang tidak rasional dan eksplorasi seks yang berlebihan.
h Memberikan pengertian dan kondisi yang dapat membuat individu melakukan aktivitas seksual secara efektif dan kreatif dalam berbagai peran, misalnya sebagai istri atau suami, orang tua, anggota masyarakat.
.
3. Mencegah terjadinya gangguan kejiwaan pada anak remaja
Dalam rangka membantu anak agar tidak terjebak pada gangguan kejiwaan seperti, hiperaktivitas dan depresi, neurosis, reaksi konversi, skizofrenia anorexia nervosa, bulimia bahkan sampai bunuh diri, maka hal-hal yang harus diperhatikan antara lain adalah:
a. Memahami kebutuhan-kebutuhan remaja
Kebutuhan remaja seperti kebutuhan biologis, kebutuhan psikologis dan kebutuhan sosial haruslah dapat diarahkan untuk dapat terpenuhi secara wajar. Kebutuhan biologis adalah kebutuhan yang berasal dari biologis yang sudah dibawa sejak lahir, seperti motif untuk makan, minum, dorongan seks dan lain sebagainya. Kebutuhan psikologis adalah segala dorongan kejiwaan yang bersifat individual yang berkaitan dengan psikis seperti kebutuhan beragama dan kebutuhan akan rasa aman. Sedangkan kebutuhan sosial adalah kebutuhan yang berkaitan dengan kebutuhan orang lain atau ditimbulkan oleh orang lain atau hal-hal di luar dirinya, seperti kebutuhan untuk dikenal, untuk mendapatkan reson dari orang lain, untuk memiliki sesuatu, dan lain-lainya.
Kebutuhan remaja di atas dapat terlihat pada perilaku mereka antara lain seperti: (1) kecendrungan untuk menarik perhatian orang lain, seperti memakai pakaian yang aneh-aneh modelnya, warna yang mencolok, kebut-kebutan dan lain-lainnya, (2) kecendrungan untuk hidup dalam kelompok-kelompok sebaya/ geng/ peer group, (3) keinginannya untuk berkawan dengan lawan jenisnya, karena adanya dorongan-dorongan seksual yang sedang berkembang, seperti berpacaran, (4) keinginan untuk aktualisasikan diri, dalam arti dapat melaksanakan semua kemampuan yang dimiliki, cita-cita, serta tujuan yang telah direncanakan.
Dalam rangka hal tersebut, baik keluarga, sekolah maupun lingkungan masyarakat dapat mengarahkan anak-anak remaja dengan hal-hal sebagai berikut:
1) Membuka kesempatan seluas-luasnya bagi remaja untuk berlomba menyalurkan keinginan-keinginannya, seerti balap mobil/motor, lomba mode pakaian, mode rambut, mode kacamata, lomba tarik suara, cerdas cermat, dan lain-lainnya.
2) Memberikan kesempatan untuk berorganisasi, berkarya, olah raga, seni, perkumpulan pers dan lain-lain, baik dalam organisasi sekolah maupun masyarakat seperti karang taruna.
3) Memberikan bimbingan dan konsling kepada remaja, yakni bimbingan khusus mengenai kehidupan berkeluarga yang susila dan beragama. Dalam hal ini pendidikan agama menjadi suatu hal yang sangat penting untuk mengarahkan serta membentengi mereka dari hal-hal yang dapat menjurus pada perzihan, dan memahami bahwa berpacaran bukanlah suatu masa untuk melampiaskan nafsu birahi, melainkan suatu masa pembinaan watak kearah pengertian kehidupan berumah tangga.
4) Dalam hal aktualiasasi remaja, diperlukan bimbingan orang tua dan guru, agar usaha untuk aktualisasi diri remaja tidak akan mengalami kesia-siaan.
b. Memberikan kesempatan kepada mereka untuk belajar bertanggung jawab
Remaja yang diberi kesempatan untuk mempertangung-jawabkan perbuatan mereka, akan tumbuh menjadi orang dewasa yang lebih berhati-hati, lebih percaya-diri, dan mampu bertanggung-jawab. Rasa percaya diri dan rasa tanggung-jawab inilah yang sangat dibutuhkan sebagai dasar pembentukan jati-diri positif pada remaja. Bimbingan orang yang lebih tua sangat dibutuhkan oleh remaja sebagai acuan bagaimana menghadapi masalah itu sebagai seseorang yang baru, berbagai nasihat dan berbagai cara akan dicari untuk dicobanya. Dalam hal ini orang tua hendaknya menjadi tokoh teladan (idola) bagi anak-anaknya.
c. Mengembangkan keterampilan sosial remaja
Mengembangkan ketrampilan sosial remaja dapat membantunya dalam menyesuaikan diri dengan kehidupan. Ketrampilan-ketrampilan sosial tersebut seperti: kemampuan berkomunikasi, menjalin hubungan dengan orang lain, menghargai diri sendiri dan orang lain, mendengarkan pendapat atau keluhan dari orang lain, memberi atau menerima kritik, bertindak sesuai norma dan aturan yang berlaku, dan lain sebagainya.
d. Memberi bekal pemahaman terhadap nilai-nilai dan pengetahuan agama,
Pemahaman terhadap nilai-nilai dan ajaran agama akan mengarahkan remaja pada situasi sosial dan rohani yang religius, dimana kehidupannya dapat dihiasi dengan keyakinan dan ketakwaan terhadap Allah SWT yang akan dapat diwujudkannya dalam kegiatan sehari-hari. Hal ini dapat diupayakan dengan menciptakan rumah tangga yang teratur dan religius, mendidik mereka untuk patuh melaksanakan ajaran-ajaran agama, melatih disiplin dan lain-lainnya. Sedangkan dalam dunia pendidikan, salah satu caranya adalah dengan menekankan pengembangan aspek afeksi peserta didik dalam pembelajaran .

4. Mencegah terjadinya perilaku menyimpang
Dalam hal mengatasi perilaku menimpang remaja seperti kenakalan remaja, tawuran, maupun penyalahgunaan NAPZA, dibutuhkan peranan penting orang tua, sekolah maupun masyarakat secara bersama-sama. Beberapa hal yang perlu diperhatikan guna mencegah terjadinya perilaku menyimpang antara lain:
a. Menjalin pergaulan yang tulus antara orang tua dengan anak maupun antara pendidik dengan peserta didik serta memberikan pendampingan, perhatian dan cinta sejat,
Setiap individu memerlukan rasa aman dan merasakan dirinya dicintai. Sejak lahir satu kebutuhan pokok yang yang pertama-tama dirasakan manusia adalah kebutuhan akan kasih sayang yang dalam masa perkembangan selanjutnya di usia remaja, kasih sayang, rasa aman, dan perasaan dicintai sangat dibutuhkan oleh para remaja. Dengan usaha-usaha dan perlakuan-perlakuan yang memberikan perhatian, cinta yang tulus, dan sikap mau berdialog, maka para remaja akan mendapatkan rasa aman, serta memiliki keberanian untuk terbuka dalam mengungkapkan pendapatnya.
b. Memberikan kesempatan untuk mengadakan dialog dengan mereka
Sikap mau berdialog antara orang tua di rumah, pendidik di sekolah, dan masyarakat dengan remaja pada umumnya adalah kesempatan yang diinginkan para remaja. Dalam diri remaja tersimpan kebutuhan akan nasihat, pengalaman, dan kekuatan atau dorongan dari orang tua, maupun guru di sekolah.

c. Melakukan Metode Konseling Terpadu
Metode Konseling Terpadu adalah upaya memberikan bantuan kepada klien kecanduan narkoba dengan menggunakan beragam pendekatan konseling dan memberdayakan klien terhadap lingkungan sosial agar klien segera menjadi anggota masyarakat yang normal dan dapat menghidupi diri dan keluarga (Willis, 2008:175). Konseling Terpadu mencakup beberapa program terkait dan terintegrasi yaitu konseling individual dan agama, konseling keluarga, bimbingan kelompok berupa kegiatan diskusi dan ceramah, pelatihan, kunjungan, dan partisipasi sosial. Perpaduan semua program tersebut membantu klien sehingga menurunkan bahkan menghilangkan kecanduan. Perubahan klien terjadi pada ranah-ranah mental, emosional, spritual, dan sosial. Dengan demikian, metode Konseling Terpadu ini dapat membantu mengantipasi serta mencegah terjadinya penyalahgunaan narkoba (NAPZA).

BAB III
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Dari uraian makalah ini, maka dapat disimpulkan beberapa hal yakni sebagai berikut :
1. Masalah-masalah yang terjadi ada anak usia remaja antara lain: (1) kesulitan menyesuaikan diri baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun di lingkungan masyarakat, (2) adanya dorongan (hasrat) seksual yang ingin dipenuhi, (3) masalah gangguan kejiwaan (psikopatologi) seperti hiperaktivitas, depresi, neurosis, reaksi konversi, skizofrenia, anorexia nervosa, bulimia, dan bunuh diri, dan (4) perilaku menyimpang seperti kenakalan remaja, tawuran, penyalahgunaan NAPZA.
2. Cara-cara untuk mengatasi masalah-masalah tersebut di atas antara lain adalah: (1) sikap demokratis orang tua dalam mendidik anak-anaknya dalam lingkungan keluarga, (2) membangun sikap saling ketergantungan positif dalam pembelajaran di sekolah, (3) mengembangkan pendidikan informal di masyarakat, (4) memberikan pendidikan seks pada remaja, (5) memahami kebutuhan-kebutuhan remaja, (6) memberikan kesempatan kepada anak (remaja) untuk belajar bertanggung jawab, (7) mengembangkan keterampilan sosial remaja, (8) memberi bekal pemahaman terhadap nilai-nilai dan pengetahuan agama, (9) menjalin pergaulan yang tulus antara orang tua dengan anak maupun antara pendidik dengan peserta didik serta memberikan pendampingan, perhatian dan cinta sejati, (10) memberikan kesempatan untuk mengadakan dialog mereka (remaja), dan (11) melakukan metode Konseling Terpadu.

B. Saran
Beberapa saran yang dapat dilaksanakan berdasarkan hasil penulisan makalah ini, antara lain:
1. Orang tua, pendidik (guru) maupun pemerintah hendaknya secara bersama-sama melakukan upaya-upaya positif untuk mengarahkan para remaja menuju suasana psikis maupun sosial yang kondusif agar semua potensi yang dimiliki anak pada usia remaja dapat berkembang kearah yang positif.
2. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi anak ada usia remaja haruslah dipandang secara positif agar dapat dilakukan upaya pencegahan sejak dini baik baik melalui upaya preventif (bersifat terencana) maupun upaya kuratif (bersifat antisipasi).
DAFTAR PUSTAKA
______.2008. Perilaku Menyimpang Remaja Dan Solusinya. Artikel: http://www.sekolahindonesia.com/sidev/NewDetailArtikel.asp?iid_artikel=13&cTipe_artikel=3. Diakses: Selasa, 30 Desember 2008
Monk, A.M.P. Knoers, dan Siti Rahayu Haditomo. 2006. Psikologi Perkembangan, Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gajagmada University Press
Mu'tadin, Zainun. 2002. Pendidikan Seksual Pada Remaja. Artikel : http://www.e-psikologi.com/remaja/100702.htm. Diakses: Selasa, 16 Desember 2008
Mu’tadin, Zainun. 2002. Obesitas dan Faktor Penyebab. Artikel: http://www.e-psikologi.com/remaja/130502.htm. Diakses: Selasa, 30 Desember 2008
Nur, Muhammad. 2004. Perkembangan Selama Anak-anak dan Remaja. Surabaya: Pusat Sains dan Matematika Sekolah Unesa
Pidarta, Made. 2005. Pengembangan Pendidika Informal. Artikel. Surabaya: Unesa University Press.
Pidarta, Made. 2007. Wawasan Pendidikan. Surabaya: Unesa University Press
Rutbah, Qadrat Asyraf. 2008. Ketika Remaja Mulai Menjadi Pemberontak. Artikel: Majalah Al-Hikmah, Edisi September 2008
Sarwono, Sarlinto Wirawan. 2007. Psikologi Remaja. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Setiono, Liliy H. 2002. Beberapa Permasalahan Remaja. Artikel : http://www.e-psikologi.com/remaja/130802.htm. Diakses : Selasa, 16 Desember 2008
Soesilowindradini. 2000. Psikologi Perkembangan Masa Remaja. Surabaya: Usaha Nasional
Tambunan, Rymond. 2001. Perkelahian Pelajar. Artikel: http://www.e-psikologi.com/remaja/161001.htm. Diakses: Selasa, 16 Desember 2008
Tambunan, Rymond. 2001. Remaja dan NAPZA. Artikel: http://www.e-psikologi.com/remaja/napza.htm. Diakses: Selasa, 16 Desember 2008
Tambunan, Rymond. 2002. Anoreksia Nervosa. Artikel: http://www.e-psikologi.com/remaja/180102.htm. Diakses: Selasa, 16 Desember 2008
Willis, Sofyan S. 2008. Remaja dan Masalahnya, Mengupas berbagai bentuk kenakalan remaja, narkoba, free sex dan pemecahannya. Bandung: Alfabeta

FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN

ILMU PENDIDIKAN SEBAGAI SUATU DISIPLIN ILMU
(Tinjauan Ontologis Dan Epistemologis Ilmu Pendidikan)
Oleh : Mujtahidin, S.Pd.

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pendidikan adalah suatu hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia sebab berbicara tentang pendidikan berarti membicarakan hidup dan kehidupan manusia. Sebaliknya, berbicara tentang kehidupan manusia berarti harus mempersoalkan masalah pendidikan, sebab pendidikan dalam makna yang luas berlansung sepanjang hidup manusia. Dengan demikian, berbicara masalah kehidupan manusia adalah persoalan pendidikan. Pendidikan muncul dari memulai sesuatu. Manusia mulai mencoba untuk mendidik diri dan sesamanya dengan sasaran menumbuhkan kesadaran terhadap makna dan hakikat kehidupan ini.
Dalam hal ini, kegiatan pendidikan ditekankan pada materi yang berisi tentang pengetahuan umum baik berupa wawasan asal mula, eksistensi serta tujuan kehidupan. Dengan demikian, pendidikan merupakan suatu disiplin ilmu pengetahuan (Ilmu Pendidikan) yang persoalan khasnya adalah menumbuh-kembangkan potensi manusia menjadi semakin dewasa dan matang. Sebagai suatu disiplin ilmu, maka Ilmu Pendidikan haruslah dapat dibuktikan secara mendasar terhadap eksistensinya sebagai suatu disiplin ilmu. Dalam kajian secara filosofis, untuk dapat membedakan antara Ilmu Pendidikan dengan pengetahuan lainnya yang bukan ilmu, maka Ilmu Pendidikan haruslah memiliki ciri-ciri yang ilmiah, dimana memiliki obyek kajian yang jelas (fakta empiris), menggunakan metode keilmuan yang bersifat rasional (penalaran) dan empiris (eksperimen) serta bagaimana nilai keguanaan Ilmu Pendidikan tersebut.
Induk dari segala ilmu pengetahuan adalah filsafat, sebab segala ilmu pengetahuan lahir dari rahim filsafat. Pada fase awalnya filsafat hanya melahirkan dua ilmu pengetahuan, yakni ilmu-ilmu alam (natural philosophy) dan ilmu-ilmu sosial (moral philosophy) maka dewasa ini terdapat lebih dari 650 cabang keilmuan (Suriasumantri, 2005:92). Hal ini disebabkan oleh berkembangnya kebudayaan dan peradaban manusia dari zaman ke zaman serta kekuatan daya pemikiran manusia yang tidak terbatas terhadap obyek-obyek yang dapat diselidiki dan diamati ada alam semesta ini.
Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan pengetahuan lainnya. Falsafah mempelajari hal ini sedalam-dalamnya dan hasil pengkajiannya merupakan dasar bagi eksistensi ilmu (Suriasumantri, 2003:5). Ciri-ciri keilmuan ini didasarkan pada jawaban yang diberikan pada setiap pembahasan tentang gejala atau obyek suatu ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya Ilmu Pendidikan itu sendiri, yakni sedikitnya pada 3 (tiga) pertanyaan pokok yaitu : (1) apa hakikat gejala/objek itu (landasan ontologis), (2) bagaimana cara mendapatkan atau penggarapan gejala/objek itu (landasan epistemologis), (3) apa manfaat gejala/objek itu (landasan aksiologis).
Tulisan pada makalah ini akan mencoba membahas tentang beberapa hal yang menyangkut 2 (dua) hal dari pernyataan pokok di atas, yakni (1) landasan ontologis Ilmu Pendidikan dan (2) landasan epistemologis Ilmu Pendidikan.

2. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas maka dalam makalah ini akan di batasi pembahasan pada 2 (dua) masalah yang dapat dirumuskan sebagai berikut :
a. Apakah hakikat subsatansi/ obyek kajian Ilmu Pendidikan? (landasan ontologis Ilmu Pendidikan)
b. Bagaimana cara penggarapan objek Ilmu Pendidikan tersebut menjadi pengetahuan yang benar? (landasan epistemologis Ilmu Pendidikan)

B. PEMBAHASAN
1. Landasan Ontologis Ilmu Pendidikan
Dasar ontologi ilmu berkaitan dengan apa yang ingin diketahui oleh ilmu atau dengan kata lain apa yang menjadi bidang telaah ilmu. Berbeda dengan agama maupun pengetahuan lainnya, obyek yang menjadi kajian ilmu adalah fakta empiris. Fakta Empiris artinya fakta yang dapat diselami lansung oleh manusia dengan mempergunakan panca indranya. Obyek penelaahan ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh pancaindra manusia (dunia empiris). Proses keilmuan bertujuan untuk memeras hakikat obyek empiris tertentu, untuk mendapatkan sari yang berupa pengetahuan mengenai obyek tersebut (Suriasumantri, 2003:5-6).
Dengan demikian maka landasan ontologis Ilmu Pendidikan adalah menyangkut hakikat substansi/ obyek kajian Ilmu Pendidikan sebagai pengetahuan keilmuan.
a. Hakikat substansi/ obyek Ilmu Pendidikan
Adapun aspek realitas yang dijangkau Ilmu Pendidikan melalui pengalaman pancaindra adalah dunia pengalaman manusia secara empiris. Ditinjau dari fungsinya, obyek Ilmu Pendidikan dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu obyek formal dan obyek material, yang dapat diuraikan sebagai berikut :
1) Obyek formal Ilmu Pendidikan
Obyek formal merupakan bidang yang menjadi keseluruhan ruang lingkup garapan riset pendidikan. Obyek formal Ilmu Pendidikan adalah pendidikan. Pendidikan disini dalam arti yang maha luas, sempit, maupun dalam pengertian luas terbatas. Pengertian pendidikan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
a) Dalam Pengertian maha luas, pendidikan sama dengan hidup. Pendidikan adalah segala situasi dalam hidup yang memengaruhi pertumbuhan sesorang. Pendidikan adalah pengalaman belajar, sehingga pendidikan daat pula didefinisikan sebagai keseluruhan pengalaman belajar setiap orang sepanjang hidupnya. Pendidikan berlansung tidak dalam batas usia tertentu, tetapi berlansung sejak manusia itu lahir sampai mati.
b) Dalam pengertian sempit, pendidikan adalah sekolah, yakni lembaga pendidikan sebagai salah satu hasil rekayasa dari peradaban manusia. Pendidikan tidaklah berlansung seumur hidup, melainkan dalam jangka waktu terbatas. Keterbatasan ini juga tidak hanya menyangkut keterbatasan waktu, tetapi juga tempat, bentuk kegiatan dan tujuan.
c) Dalam pengertian luas terbatas, pendidikan merupakan berbagai macam pengalaman belajar dalam keseluruhan lingkup kehidupan, baik di sekolah, maupun di luar sekolah, yang sengaja dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
2) Obyek material Ilmu Pendidikan
Obyek material merupakan hal-hal atau aspek-aspek yang menjadi garapan lansung riset pendidikan. Menurut Heryanto (2002) objek material Ilmu Pendidikan ialah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak mulia dalam situasi pendidikan atau diharapkan melampaui manusia sebagai makhluk sosial mengingat sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik. Agar pendidikan dalam praktek terbebas dari keragu-raguan, maka objek material Ilmu Pendidikan dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Hal ini berarti ruang lingkup manusia seutuhnya ini dalam kedudukannya sebagai peserta didik, baik secara individu maupun kelompok (sosial), sehingga batasan manusia seutuhnya ini dalam konteks pendidikan.
b. Status Ilmu Pendidikan
Dalam hubungannya dengan kelompok ilmu lainnya, Ilmu Pendidikan terdapat beberapa perbedaan pendapat diantara pada ahli mengenai status Ilmu Pendidikan tersebut. Dalam hal ini dapat dilihat dari pendapat para ahli (Mudyahardjo, 2004:28-41), yakni sebagai berikut :
1) Aristoteles, menempatkan secara tersirat Ilmu Pendidikan tergolong pada cabang Ilmu-Ilmu Praktis .
2) Francois Bacon, menempatkan Ilmu Pendidikan terkandung di dalam Filsafat Humanitatis, bukan Teologi Naturalistik maupun Filsafat Alam.
3) Agus Comte, menempatkan Ilmu Pendidikan merupakan bagian integral dari Ilmu Moral, yang merupakan satu perpaduan semua konstruksi ilmiah sehingga merupakan bentuk ilmu yang tertinggi.
4) Herbert Spencer, menempatkan secara tersirat, Ilmu Pendidikan yang otonom tergolong dalam cabang Ilmu Kongkret Organik dan Filsafat Pendidikan Naturalistik .
5) Horne, menguraikan bahwa studi pendidikan mencakup 4 (empat) macam, yaitu : (1) Sejarah Pendidikan; (2); Filsafat Pendidikan; (3) Praktek Pendidikan; dan (4). Ilmu Pendidikan itu sendiri.
2. Landasan Epistemologis Ilmu Pendidikan
Landasan Epistemologis di dasarkan pada pertanyaan mendasar tentang ”bagaimanakah mendapatkan pengetahuan yang benar?”. Epistemologi atau teori pengetahuan, membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam usaha untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui metode keilmuan (Suriasumantri, 2003:9).
Dengan demikian landasan epistemologis Ilmu Pendidikan berusaha menjawab pertanyaan bagaimana mendapatkan pengetahuan tersebut dengan benar? atau bagaimana penggarapan objek Ilmu Pendidikan tersebut menjadi pengetahuan yang benar?.
a. Pola organisasi Ilmu Pendidikan dan cabang-cabangnya
Obyek kajian Ilmu Pendidikan sebagaimana yang dikemukakan pada uraian sebelumnya sangatlah luas, baik obyek formal maupun obyek materialnya. Ilmu Pendidikan sebagaimana keseluruhan cabang-cabang Ilmu Pendidikan mempunyai obyek berupa pendidikan sebagai salah satu bentuk gejala kehidupan manusia. Karena luasnya bidang Pendidikan yang menjadi obyek formal Ilmu Pendidikan maka untuk menspesifikkan pengkajian terhadap obyek tersebut, dilakukan pengorganisasian (kalsifikasi) hal-hal yang menjadi obyek material Ilmu Pendidikan menjadi cabang-cabang Ilmu Pendidikan. Jadi, setiap cabang-cabang Ilmu Pendidikan mempunyai obyek formal yaitu pendidikan, sedangkan obyek materialnya berupa salah satu aspek dari cabang ilmu pendidikan itu sendiri setelah diklasifikasikan menjadi obyek kajian yang lebih spesifik.
Dengan demikian, pola organisasi Ilmu Pendidikan terhadap obyek materialnya ini meliputi keseluruhan kegiatan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan (dalam makna pendidikan secara makro). Demikian pula Ilmu Pendidikan juga meliputi kegiatan pendidikan secara keseluruhan atau suatu bentuk kegiatan pendidikan dari satu atau beberapa lembaga pendidikan (dalam makna pendidikan secara mikro). Obyek material inilah yang kemudian menjadi dasar untuk membedakan antara cabang Ilmu Pendidikan yang satu dengan yang lainnya.
Jika ditinjau dari keluasan obyek materialnya ini, maka pola organisasai Ilmu Pendidikan terhadap obyek yang menjadi penelaahannya dapat dibedakan menjadi Ilmu Pendidikan Makro dan Ilmu Pendidikan Mikro (Mudyahardjo, 2004:84).
2) Ilmu Pendidikan Makro, yang merupakan Ilmu Pendidikan yang mempelajari keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan nasional.
Kelompok ini mencakup antara lain :
a) Ilmu Pendidikan Administratif
b) Ilmu Pendidikan Komparatif
c) Ilmu Pendidikan Historis
d) Ilmu Pendidikan Kependudukan
3) Ilmu Pendidikan Mikro, merupakan Ilmu Pendidikan yang menyelidiki satuan pendidikan atau kegiatan pendidikan secara keseluruhan atau hanya satu satuan atau suatu bentuk kegiatan pendidikan.
Kelompok ini mencakup antara lain :
a) Ilmu Mendidik Umum, antara lain : (1) Pedagogik Teoritis; (2) Ilmu Pendidikan Psikologis; (3) Ilmu Pendidikan Sosiologis; (4) Ilmu Pendidikan Antropologis; dan (5) Ilmu Pendidikan Ekonomis.
b) Ilmu Mendidik Khusus, antara lain : (1) Ilmu Persekolahan; (2) Ilmu Pendidikan Luar Sekolah; dan (3) Ilmu Pendidikan Luar Biasa.
Demikian pula, Ilmu Persekolahan dibagi lagi menjadi obyek kajian yang lebih spesifik, yakni Ilmu Administrasi Sekolah, Ilmu Administrasi Kelas, dan Ilmu Kegiatan Pendidikan Sekolah. Ilmu Kegiatan Pendidikan Sekolah dibagi lagi menjadi Ilmu Bimbingan, Ilmu Pengajaran, dan Ilmu Kepelatihan. Demikian seterusnya, Ilmu Pengajaran juga dibagi lebih cabang Ilmu Pendidikan yang lebih spesifik lagi.
Ilmu Pendidikan Luar Sekolah dibagi lagi menjadi Pedagogik Keluarga, Pedagogik Taman Kanak-kanak, dan Ilmu Pendidikan Masyarakat. Sedangkan Ilmu Pendidikan Luar Biasa (Orthopedagogik) dibagi menjadi Orthopedagogik Fisik dan Orthopedagogik Mental.
b. Metodologi Riset dalam Ilmu Pendidikan
Ilmu Pendidikan dibangun melalui berbagai riset pendidikan. Riset merupakan metoode kerja yang digunakan para ahli dalam membangun Ilmu Pendidikan. Riset dan Metode Ilmiah kadang0kadang diergunakan sebagai sinonim dalam pembahasan tentang pendidikan. Baik riset maupun metode ilmiah merupakan metode pemecahan masalah yang mengacu pada berfikir reflektif. Berfikir reflektif artinya berfikir menemukan masalah serta mmecahkannya melalui kegiatan-kegiatan secara bertahap. Riset adalah serangkaian kegiatan yang lebih sistematis tertuju ada penemuan dan pengembangan sebuah sosok pengetahuan yang terorganisasi (Mudyahardjo, 2004:95).
Metode-metode riset pada umumnya dan pendidikan pada khusunya meletakkan dasar riset pada penggunaan metode induksi dan metode deduksi dalam menyusun batang tubuh ilmu. Dengan demikian, maka metodologi Ilmu Pendidikan harus dapat dilihat dari riset kualitatif dan riset kuantitatif.
1) Riset kualitatif Ilmu Pendidikan
Riset Kualitatif merupakan sekumpulan metode-metode pemecahan masalah yang terencana dan cermat dengan desain yang cukup longgar, pengumpulan data lunak, dan tertuju pada penyusunan teori yang disimpulkan melalui induktif langsung. Desan dalam Riset Kualitatif tidak dirumuskan secara ketat terhadap variabel penelitiannya, sehingga bersifat berkembang, lentur, dan umum. Riset Kualitatif adalah Deskriptif, dalam arti yang dikumulkan lebih meruakan kata-kata atau gambar-gambar dariada angka-angka (Mudyahardjo, 2004:147).
Selanjutnya Mudyahardjo, (2004:158-163) mengemukakan bahwa metode-metode riset kualitatif yang digunakan untuk menyusun Ilmu Pendidikan, antara lain mencakup :
a) Metode fenomenologi
Metode fenologi adalah metode yang bermula dari gejala sebagaimana adanya, kemudian melakukan reduksi eiditis (menghilangkan semua yang berkenaan dengan subyektivitas peneliti dan reduksi transenden (menghilangkan semua hal tidak bermakna yang melekat dalam gejala) agar dapat menemukan eidos atau hakikat yang menjadi makna sebenarnya dari gejala-gejala. Menurut Psathas (dalam Mudyahardjo, 2004:159), riset kualitatif pendidikan berkenaan dengan orang yang sedang belajar, yang bertujuan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan : (1) apakah yang sedang mereka alami; (2) bagaimanakah mereka menginterpretasikan pengalaman tersebut; dan (3) bagaimanakah mereka sendiri menstrukturkan dunia kehiduan mereka.
Sedangkan menurut Langeveld (dalam Mudyahardjo, 2004:159), pendidikan merupakan gejala yang terdapat dalam pergaulan antara anak dengan orang dewasa. Dalam situasi pergaulan tersebut, terdapat unsur-unsur : (1) anak sebagai si terdidik; (2) orang dewasa sebagai pendidik; (3) hubungan kewibawan pendidikan; (4) penciptaan situasi dan kegiatan pendidikan sebagai alat pendidikan; (5) lingkungan hidup bersama sebagai lingkungan pendidikan; dan (6) kedewasaan sebagai tujuan pendidikan.
b) Metode komparatif
Metode komparatif dalam pendidikan terdiri atas 4 (empat) langkah, yaitu : (1) deskrepsi, yaitu pengumpulan secara sistematik tentang informasi pendidikan di beberapa dunia; (2) interpretasi, yaitu analisis latar belakang sosio-kultural pendidikan dari setiap negara yang akan dibandingkan; (3) penjajaran, yaitu pengkajian secara serempak beberapa sistem pendidikan untuk menentukan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan secara linier; dan (4) perbandingan secara keseluruhan antara sistem-sistem pendidikan yang dibandingkan.
c) Metode historis
Metode historis dalam pendidikan berkenaan dengan penggambaran apa yang telah terjadi dalam dunia pendidikan selama kurun waktu tertentu.
d) Metode interaksi simbolik
Metode interaksi simbolik dalam pendidikan merupakan metode riset yang bertujuan memahami makna tingkah laku interaktif dalam pendidikan, dengan jalam memahami definisi-definisi dan proses interaksi yang terjadi dalam penyusunan definisi-definisi tersebut.
e) Metode etnografis
Metode etnografis pendidikan bertujuan menyusun sebuah deskrepsi penuh arti tentang jaringan hubungan, kegiatan-kegiatan, dan keyakinan pihak-pihak yang terlibat dalam lingkungan-lingkungan pendidikan.
f) Etnometodologi
Etnometodologi tidak berkenaan dengan metode-metode yang digunakan dalam penyelidikan untuk mengumpulkan data, tetapi lebih berkenaan dengan pokok masalah yang menjadi penyelidikan. Etnometodologi berkenaan dengan studi bagaimana individu-individu menciptakan dan memahami kehidupan mereka sehari-hari, atau metode mereka memenuhi kehidupan sehari-hari.
2) Riset kuantitatif Ilmu Pendidikan
Riset Kuantitatif merupakan metode pemecahan masalah yang terencana dan cermat, dengan desain yang terstruktur ketat, pengumpulan data secara sistematis terkontrol, dan tertuju pada penyusunan teori yang disimpulkan secara induktif dalam kerangka pembuktian hipotesis secara empiris. Pola pengumpulan data dalam riset kuantitatif merupakan cara kerja dalam bentuk pengukuran sistematis (pengukuran terencana). Hal ini berarti pengukuran tersebut didasarkan ada disain terencana, yang terutama jelas menggambarkan batas-batas variabel yang akan diteliti, jaringan hubungannya, menggunakan alat ukur yang valid dan reliabel.
Pelaksanaan riset kuantitatif dilakukan dalam bentuk pengukuran kuantitatif terprogram (sistematis), yang memiliki karakteristik antara lain (Mudyahardjo, 2004:166):
a. Pengukuran dilakukan terhadap skala-skala : ordinal, interval, dan rasio yang menghasilkan data dalam bentuk angka (proses kuantifikasi),
b. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan instrumen yang teat (valid) dan dipercaya (reliable),
c. Pengukuran dilakukan terhadap sampel yang menjadi sumber data, yang telah ditetapkan secara acak atau rekomendasi,
d. Pengukuran dilakukan melalui pemberian perlakuan tertentu untuk mengetahui akibat-akibatnya atau eksperimentasi yang murni atau rekaan.
Riset kuantitatif dilaksanakan dengan menggunakan metode eksperimental. Metode ekperimental berkenaan dengan gejala tentang sebab akibat. Metode eksperimental (dari segi desainnya) dibedakan menjadi 4 (empat) kelompok yaitu : (1) Desain-desain Pra-Eksperimental, (2) Desain-desain Eksperimental yang Sesunguhnya, (3) Desain-desain Eksperimental Rekaan, dan (4) Desain Korelasional dan Sebab Terbalik.
Perkembangan penggunaan metode eksperimen dan kecendrungan fungsionalisme dalam psikologi, yang antara lain mendorong kepada penyelidikan, yang pada gilirannya mendorong lahirnya psikologi pendidikan yang didasarkan pada penyelidikan eksperimental. Pada awal perkembangannya psikologi pendidikan memusatkan perhatian ada masalah proses belajar, baru setelah pertengahan abad 20 penyelidikan dalam psikologi dicurahkan pada masalah mengajar. Kemajuan psikologi pendidikan dalam menggunakan metode ekserimen berpengaruh pula terhadap perkembangan sosiologi pendidikan. Hal ini memberi pengaruh yang kuat pada pengembangan ilmu-ilmu pendidikan, termasuk sosiologi pendidikan, administrasi pendidikan, ekonomi pendidikan, dan sebagainya.
Jadi dalam hal riset kuantitatif, Ilmu Pendidikan tidak membangun dirinya sendiri sebagai suatu disiplin ilmu sendiri yang mengembangkan riset kuantitatif, melainkan juga didasarkan pada cabang-cabang ilmu lainya. Keragaman dalam pola pengamatan dan pola penyusunan konseptual dalam riset dapat lebih memperkaya pembendaharaan Ilmu Pendidikan sebagai salah satu bentuk teori pendidikan. Implikasinya dapat memperluas dan memperdalam pemahaman tentang pengertian pendidikan. Dengan kata lain, keragaman hasil-hasil riset tersebut memerluas dan memerdalam sekema-sekema konseptual dan isi konsep-konsep pendidikan.

c. Ilmu Pendidikan teoritis dan praktis
Selain yang telah dikemukakan di atas, sebagaimana yang kemukakan oleh Sudjana (2007:9) Ilmu Pendidikan juga dibagi dalam cakupan Ilmu Pendidikan Teoritik dan Ilmu Pendidikan Praktik. Ilmu Pendidikan Teoritik terdiri atas kajian-kajian pendidikan ditinjau dari nilai-nilai dan prinsip agama, filsafat, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan social, dan humaniora. Sedangkan Ilmu Pendidikan Praktik mencakup ilmu pengetahuan normative dan finalistic. Ilmu pengetahuan normative berkaitan dengan kajian norma-norma sebagai standart yang digunakan dalam pendidikan, sedangkan ilmu pengetahuan finalistic mengkaji hasil akhir pendidikan dalam bentuk keluaran (output) maupun pengaruh (outcome) bagi peserta didik dalam lingkungannya. Dalam ilmu pendidikan praktik termasuk pula pendidikan terapan. Ilmu pendidikan terapan mengkaji aplikasi ilmu pendidikan untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Ilmu pendidikan ini dapat disusun berdasarkan (1) usia perkembangan peserta didik; (2) kebutuhan individu, kelembagaan, dan masyarakat.

d. Keterkaitan Ilmu Pendidikan dengan ilmu-ilmu lainnya
Dewantara (Dalam Djudju Sudjana, 2007:13) bahwa pendidikan yang teratur bersandar atas pengetahuan, yang dinamakan Ilmu Pendidikan. Ilmu ini tidak berdiri sendiri, akan tetapi masih memakai ilmu-ilmu yang lainnya, yang dinamakan ilmu syarat-syarat pendidikan atau hulpwetenschappen yang terbagi mejadi lima jenis, yaitu:
1) Ilmu Hidup-Batin Manusia (ilmu jiwa, psychologie)
2) Ilmu Hidup Jasmani (physiologie)
3) Ilmu Keadaban dan Kesopanan (ethika atau moral)
4) Ilmu Keindahan atau Ketertiban Lahir (aesthetika), dan
5) Ilmu Tambo Pendidikan (ikhtisar tentang mekanisme pendidikan).
Berkat dukungan Ilmu Pendidikan, berkembanglah pendidikan disiplin ilmu, yaitu pendidikan disiplin dan subdisiplin ilmu pengetahuan alam, pendidikan disiplin dan subdisiplin Ilmu pengetahuan sosial, serta pendidikan disiplin dan subdisiplin ilmu humaniora. Sebaliknya, baik ilmu pendidikan teoritik maupun ilmu pendidikan praktik memperoleh dukungan kuat dari ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan social, ilmu pengetahuan humaniora.
Keterkaitan antara Ilmu Pendidikan dengan ilmu-ilmu lainnya dapat diuraikan sebagai berikut :
1) Keterkaitan Ilmu Pendidikan dengan Ilmu Pengetahuan Alam
Ilmu pengetahuan alam, terutama biologi (biotic,flora dan fauna), fisika (abiotik, musim, cuaca, lokasi, energi). Ilmu pengetahuan alam mendukung mendukung pendidikan dalam mempelajari menggunakan lingkungan hayati, non hayati, buatan dalam bentuk suatu kebijakan dan program-program. Mendukung dalam masukan lingkungan (environmental input) system pendidikan sebagai ilmu pengetahuan praktis. Dukungan yang lebih mendasar berupa metode ilmiah, yaitu cara berpikir dan cara mengembangkan ilmu melalui pengamatan, nalar, dan eksperimen.
2) Keterkaitan Ilmu Pendidikan dengan Ilmu Pengetahuan Sosial
Ilmu pengetahuan social, mendukung dalam mengkaji aspek-aspek perilaku manusia yang terlibat dalam pendidikan, seperti individu, kelompok, dan lingkungannya. Sejarah membantu memahami keadaan masa lampau, masa sekarang, dan masa akan datang. Antropologi membantu mempelajari ciri biologis manusia (antropologi ragawi), benda-benda purbakala (archeology), bahasa (linguistics), serta struktur social dan budaya kelompok (social anthropology). Anthropologi sosial membantu mempelajari struktur social kehidupan kelompok untuk memahami status social, pola kekuasaan, peluang-peluang dalam kelompok. Setiap masyarakat memiliki stratifikasi social berdasarkan perbedaan usia, kekerabatan, suku bangsa, kelompok kekuasaan, pekerjaan pranata social dan sebagainya.
3) Keterkaitan Ilmu Pendidikan dengan Ilmu Ekonomi
Ilmu ekonomi, membantu mempelajari cara masyarakat untuk menyebarkan dan menggunakan sumber-sumber kehidupan yang relative terbatas kepada kelompok yang membutuhkan. Kajian terhadap pasar dan harga kunci penyebaran sumber. Kajian pemilikan kekayaan dan pemanfaatannya berkaitan dengan kegiatan ekonomi. Kajian dalam mengembangkan prinsip ekonomi dalam pengembangan pendidikan yang berorientasi pada pengembangan ekonomi.


4) Keterkaitan Ilmu Pendidikan dengan Ilmu Politik
Ilmu politik, membantu mengkaji pola-pola kekuatan kekuasaan, dominasi, dan perangkat politik yang ada di masyarakat mencakup dua hal. Pertama, berupa perjuangan kekuatan antara pihak yang ingin mempengaruhi, mempertahankan, mengubah pranata. Kedua, hukum yang berlaku meliputi peraturan pemerintah, peraturan antar lembaga pemerintah, dan antara pemerintah dengan masyarakat. Dapat dikembangkan ilmu pendidikan berdasar kajian kehidupan berpolitik, kebijakan dan peratuaran yang berlaku, aparatur pemerintah, mekanisme politik , dan kaitan antar bangsa.
5) Keterkaitan Ilmu Pendidikan dengan Ilmu Sosiologi
Sosiologi, membantu mengkaji kehidupan berkelompok dan proses sosialisasi, yakni cara seseorang menjadi warga suatu kelompok. Mengkaji pula ciri-ciri alamiah manusia serta hubungan antar manusia yang dipengaruhi alam, ilmu pengetahuan, dan teknologi dalam lingkungan keluarga, desa, kota,dan komunitas.
6) Keterkaitan Ilmu Pendidikan dengan Ilmu Psikologi
Psikologi, membantu mempelajari aspek-aspek psikologis individu dalam interaksinya dengan lingkungan. Psikologi sosial mengkaji aspek-aspek social individu dan bentuk tingkah laku kelompok yang menumbuhkan gerakan masyarakat sebagai respon terhadap rangsangan social. Tiga titik berat kajian (1) pengaruh social terhadap individu adalah persepsi, minat, motivasi, dan proses belajar; (2) proses individual bersama seperti solidaritas dan sikap lainnya; (3) interaksi kelompok seperti kepemimpinan,kerjasama, dan konformitas.
7) Keterkaitan Ilmu Pendidikan dengan Ilmu Humaniora
Ilmu humaniora, mendukung dalam mengkaji nilai-nilai budaya, kehidupan rohaniah manusia, pengalaman manusia yang berupa karya, berbagai upaya manusia menjelaskan makna kehidupan dibantu kajian agama dan filsafat.

C. SIMPULAN
Dari uraian di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpumpulan sebagai berikut :
1. Ilmu Pendidikan sebagai pengetahuan keilmuan memiliki hakikat substansi/ obyek kajian yang jelas yakni pendidikan itu sendiri (obyek formal), dan manusia seutuhnya dalam kedudukannya sebagai peserta didik (obyek material). Namun demikian, status Ilmu Pendidikan masih kurang jelas, karena belum tercantum secara jelas (tersurat) dalam klasifikasi ilmu. Demikian pula, untuk memahami pendidikan yang baik diperlukan banyak ilmu bantu yang harus dikuasai, yaitu seperti ilmu tentang manusia, yang tidak hanya terbatas pada psikologi, melainkan juga biologi manusia, fisiologi, sosiologi, antropologi, dan lain-lainnya.
2. Penggarapan objek Ilmu Pendidikan tersebut menjadi pengetahuan yang benar telah menunjukkan eksistensi Ilmu Pendidikan pengetahuan keilmuan, karena telah menggunakan cara berfikir menurut persyaratan keilmuan, yakni :
a. Memiliki pola organisasi obyek-obyek kajian formal dan materialnya secara jelas dan spesifik menjadi cabang-cabang Ilmu Pendidikan,
b. Ilmu Pendidikan dibangun melalui berbagai riset pendidikan, yang meletakkan dasar riset pada penggunaan metode induksi dan metode deduksi dalam menyusun batang tubuh ilmu. Metodologi Ilmu Pendidikan secara kualitatif telah menjukkan penalaran yang benar, walaupun pada riset kuantitatif Ilmu Pendidikan masih banyak bergantung pada cabang-cabang ilmu lainya.

D. SARAN
Dari uraian tulisan ini, dapat disampaikan saran sebagai berikut :
1. Hendaknya kajian filosofis tentang Ilmu Pendidikan maupun ilmu-ilmu lainya selalu dilakukan secara menyeluruh, mendasar, dan spekulatif, sehingga dengan demikian akan dapat membuka cakrawala berfikir untuk yang mendalam bagi setiap ilmuan maupun praktisi pendidikan untuk dapat berkata jujur tentang apakah suatu ilmu telah mencakup pengetahuan yang benar, serta dapat mengevaluasi terhadap apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan ilmu, termasuk di dalamnya Ilmu Pendidikan.
2. Agar dapat memahami Ilmu Pendidikan dengan baik, maka diperlukan ilmu bantu yang harus dikuasi, yakni terutama ilmu-ilmu tentang manusia, karena walaupun Ilmu Pendidikan merupakan ilmu yang bersifat otonom, namun secara khusus sering memanfaatkan hasil kajian ilmu-ilmu lainnya.

DAFTAR BACAAN

Mudyahardjo, Redja. Filsafat Ilmu Pendidikan, Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya
Pidarta, Made. 2007. Wawasan Pendidikan. Surabaya: Unesa University Press.
Rasyidin, Waini. 2007. Pendidikan sebagai Ilmu. Artikel: Rujukan Filsafat, Teori dan Praksis Ilmu Pendidikan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia Press
Rasyidin, Waini. 2007. Ilmu Pendidikan Teoritik. Artikel: Rujukan Filsafat, Teori dan Praksis Ilmu Pendidikan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia Press
Rasyidin, Waini. 2007. Perbedaan Filsafat Pendidikan dengan Ilmu Pendidikan. Artikel: Rujukan Filsafat, Teori dan Praksis Ilmu Pendidikan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia Press
Ravertz, Jerome R. 2007. Filsafat Ilmu, Sejarah & Ruang Lingkup Bahasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sudjana, Djudju. 2007. Perkembangan Ilmu Pendidikan dan Keterkaitannya Dengan Ilmu-ilmu Lain. Artikel: Rujukan Filsafat, Teori dan Praksis Ilmu Pendidikan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia Press
Suriasumantri, Jujun S. 2003. Filsafat Ilmu. Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Suriasumantri, Jujun S. 2003. Ilmu Dalam Persektif, Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakikat Ilmu. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia